Aku berasa pada puing puing reruntuhan zaman.
Dimana proyeksi manusia menjadi kian cupitnya.
Dahulu pikirnya seluas semesta, sedalam dasar laut, membentang jagat raya, sekaya bumi dan isinya, seharmoni manusia dan isi kepala jiwa raganya.
Namun nyatanya apa sekarang?
Proyeksi seluas langit dan bumi menjadi sesempit isi perutnya sendiri.
Mengakali sains, hakikat dan maknawi suci selembut tulusnya hati.
Semuanya terbakar.
Terbakar menjadi debu yang legam.
Aksara Aksara dan buah karya hanyalah ilusi angkara murka karena isi perutnya tak pernah merasa cukup kenyang.
Kemanakah perginya peradaban?
Biar ku kejar dia.
Sebab sudah lama, pencerahan yang ia bawa turut hilang juga.
.
.
Kali ini hujan penuh badai dan angin taufan sedang di depan mata.
Tuhan membangunkanku yang tertidur nyenyak dalam selimut di kamar yang nyaman.
"Keluarlah dari jendela!"
.
.
"Ha? " ucapku.
"Tidak mau." ucapku mengeluh.
Tiba tiba pemilik raga itupun mengambil kendalinya, menggerakkan tubuhku yang juga miliknya, pergi merayap dari jendela.
Menyapa badai dan angin taufan di luar rumah yang nyaman.
.
.
"Salam, badai dan taufan," ucapku.
Dia pun menyambut salamku dengan kilatan petirnya yang gemuruh. Tak luput pula taufan taufan yang membawa manusia dan harta bendanya berputar putar dalam arus.
"Lihatlah orang orang itu, mereka saudaramu, terguncang luntang lantung dalam kemarahanku," ucap Badai itu.
"Lalu?" ucapku acuh.
"Tak pedih kah hatimu?" tanyanya.
"Mereka menjadikanku bisu, kini hatiku pun ikut membeku," ucapku.
"Jadi biar aku luluh lantakkan seluruh bumi kaupun tak peduli lagi?" tanyanya.
"Ya, aku tidak lagi peduli," ucapku.
"Tapi kau juga akan luluh lantak lalu mati mengenaskan."
Akupun mengulangi kata kataku sekali lagi, "ya, aku tahu, aku tidak lagi peduli."
Badai pun semakin menunjukkan kegagahannya, ia mulai porak porandakan semuanya, mengujiku apakah hatiku benar benar beku.
Sedang aku, hanya diam membisu.
.
.
Tanpa ku sadari naluri kecilku terbang ke langit, menyemayamkan "berserah" yang berada di luar kendali.
Kemurkaan badai pun tiba tiba terhenti.
Aku masih saja mematung dengan jiwa dan tatapan yang sudah terbengkalai lungai.
Badaipun menyeru lagi,
"Sudahlah gadis kecil, mari akhiri perselisihan ini."
"Tuhan tidak rela hamba kecilnya tertusuk duri."
.
.