Perkenalkan aku, Sang Badai Taufan, kawan jauh Elarra Thalassa. Kali ini aku akan mencuri prosa terakhir miliknya. Dan akan aku ceritakan sedikit tentang dia.
Elarra Thalassa, gadis manis dan hanya seorang gadis manis, yang juga memiliki amarah dan sifat keras yang melindungi dirinya dari pahit dan getir kehidupan.
Elarra Thalassa, ia mungkin melihatku sebagai penghancur padahal aku adalah pembersih jalannya.
Elarra Thalassa, gadis yang mati muda. Yang dihantam hingga lebur seperti debu oleh dunia namun memaksa untuk terus hidup dalam cahaya keabadian, mati dan tumbuh menjadi jiwa baru tak henti henti demi terselesainya rangkaian bunga suci persembahan untuk Sang Ilahi.
Masih terdengar jelas dalam ingatanku ketika gadis itu menangis merintih pada Sang Rabbi.
"Cita citaku menjadi debu, Tuhan. Hati Thalassa sakit sekali, Saya mau pulang saja."
Lalu kala itu Tuhan hanya diam saja memeluknya dengan rahmatNya yang lembut dan penuh petunjuk yang diantar semesta.
"Tidak boleh sayang, kamu tidak boleh pulang tanpa panggilanNya datang," ucapan Rahmat yang datang memeluk sembari mengantarkan energi Tuhan datang padanya, sedang aku masih saja mengamati dari seberang.
Lalu racauan itupun mengembang terus mengembang terputar terus terputar setiap harinya bagai melodi yang rintih menyesakkan namun rahmat Tuhan menyertainya.
Sampai pada suatu ketika dengan jiwanya yang paling terang ia datang menemui Tuhannya.
"Tuhan, ini saya, Thalassa. Saya datang menyerahkan seluruhnya, biar hidup dan mati saya untuk keridhoanMu untuk PengadilanMu untuk lembut dan tegasMu untuk embun pagi dan petirMu, saya sudah tidak mau menjadi saya yang semu dan sepah itu."
...
Lalu Sang Malaikat berwajah teduh pun datang memeluk gadis yang sedang menangis tanpa suara di tengah malam itu.
Malaikat sang pembawa doa yang tertampung air mata itu bertanya dengan penuh lembut dan kehati-hatian ... "Gadis kecil, kau yakin benar benar mau menyerahkan segalanya?"
"Iyaa... ambil saja ... apapun ... apapun yang Tuhan mau ambil saja dari diri saya ... apapun itu ... ambil saja ... ambil saja ... ambil saja."
"Dari awal, saya memang tidak punya apa apa kan..."
"Dan dunia ini.. adalah permainan Tuhan.. Dan saya diciptakan untuk menyelesaikan misi darinya kan? Dan saya bukan orang yang diberi lencana sang ahli ambisi dunia kan?"
"Saya sudah tahu, saya sudah tahu semua. Saya tahu, saya Ia ciptakan untuk tujuan apa."
Gadis itupun kembali menatap cahaya Tuhannya sambil kembali menegaskan.
"Ambil saja Tuhan, semuanya. Lagipula jalannya zaman ini memakan semua kesucian dalam setiap yang saya cinta, juga dalam setiap yang saya cita citakan."
Gadis itupun menengadahkan tangannya lagi, merayu dan meyakinkan Tuhannya yang Ia yakini selalu Maha Baik.