DANCING TEARS

Veena
Chapter #2

Chapter 1

Gadis itu memukul-mukul kepala dan seluruh badannya sendiri. Memecahkan vas bunga dan seluruh barang yang bisa ia raih dengan cepat. Kamar indah itu kini menjadi seperti kapal pecah. Seluruhnya berserakan. Ia berteriak-teriak seperti orang kesetanan. Kembali lagi memukul-mukul kepalanya sampai tangannya meraih pecahan vas. Terdiam. Sesaat pandangannya tidak bisa terlepas dari pecahan vas itu. Beberapa pikiran-pikiran buruk sudah melesat di otaknya. Seiring dengan perintah dari otaknya, Kayra perlahan mengarahkan pecahan kaca ke nadi nya.

"Ya Tuhan, non Kayra." Seorang wanita paruh baya segera melepaskan pecahan vas bunga dari tangan Kayra dan memeluknya. Sementara Kayra kembali meronta setelah tahu pecahan itu sudah lenyap dari tangannya.

****

Mata pria itu tidak lepas dari sosok tubuh kaku yang menggantung di langit-langit kamarnya. Ia bergeming, mengumpulkan semua tenaga yang ia miliki hanya untuk sekadar berteriak. Namun percuma, bagaimana kerasnya pun ia mencoba, semua itu sia-sia. Malah kekuatan lututnya melemah, seakan tak sanggup menahan beban tubuhnya.

Suara sirene menggema di sudut rumah, polisi membopong jenazah tersebut keluar, meninggalkan pria muda termenung sendirian. Sesaat kesadarannya kembali barulah pria itu terisak tanpa henti. Ia sadar sekarang, bahwa ia sudah benar-benar sendirian di dunia ini.

***

Mira bingung, kenapa jalanan kota Jakarta selalu macet tak terkecuali. Terutama jalanan yang selalu ia lewati setiap harinya saat menuju tempat praktik. Ia mengecek jam tangan sembari mengetukkan jari ke setir mobil. Tiga puluh menit sudah ia tidak bergerak di arah Kebon Jeruk. Klakson mobil sudah bersahutan mewakili pengemudi yang sudah tidak sabar untuk segera beranjak dari tempat itu.

Panggilan telepon dari Rumah sakit setidaknya membuyarkan sedikit amarahnya yang sudah di ubun-ubun.

“Dok, sudah di mana?” Sahut suara dari seberang telepon.

“Sebentar lagi, saya sedikit lagi sampai, macet sekali. Pasien sudah datang?”

“Sudah dok. Hmm..” Ujarnya ragu kemudian melanjutkan “VIP kemarin, sudah marah-marah dok. Takut saya.”

Mendengar kata VIP, tentu Mira sudah tahu siapa subjek yang dituju. Seketika amarahnya kembali, ia mendengus kecil dan berkata,

Lihat selengkapnya