Dandelion

Chika Andriyani
Chapter #1

Bab 1

Senyum gadis itu memudar saat melihat pria yang menjadi kekasihnya selama empat tahun itu digandeng mesra oleh perempuan lain. Kekasihnya juga tampak bahagia sambil sesekali mencubit gemas pipi perempuan itu. Langkah keduanya terhenti ketika sang pria melihat gadis itu berlinang air mata.

"Agil, ada apa?" tanya sang perempuan di sebelahnya. Pria yang dipanggil Agil itu tak menjawab. Keduanya masih bertatapan. Sang gadis maju beberapa langkah membuat tangan Agil mengepal.

"Gil, itu kenalan kamu? Kayaknya dari tadi lihatin kamu."

"Fera, ada yang harus aku urus. Kamu tunggu aku di parkiran, ya?" Agil memberikan kunci mobilnya. Fera mengangguk, dia akan bertanya nanti ketika mereka sudah keluar dari bandara.

Setelah memastikan Fera pergi, Agil melangkah cepat ke arah kekasihnya itu. "Dis, kamu ngapain ke sini? Kenapa nggak bilang dulu?"

"Tadi siapa? Kenapa pegang tangan kamu? Aku ke sini mau kasih kejutan buat kamu. Kita udah nggak ketemu dua minggu."

Kekasihnya itu tampak mengusap wajahnya. Sebagai co-pilot dengan lintas Eropa, keduanya memang jarang bertemu. Agil terbiasa meninggalkan Gladis satu sampai dua minggu paling lama. Kadang Gladis selalu marah karena itu.

"Dengar ya, aku kerja dan kamu seenaknya kayak gini. Masalah Fera, dia itu pramugari di maskapai aku. Jujur aja, aku sayang sama dia, dan dia juga begitu. Hubungan kita nggak akan berhasil, Dis. Jadi, mulai sekarang nggak perlu tunggu aku."

Kekasihnya atau yang sebentar lagi akan menjadi mantan kekasih itu menatap Agil tak percaya. "Gil, salah aku apa? Kita udah empat tahun pacaran dan kamu seenaknya bilang sayang ke cewek lain? Bahkan kita udah punya rencana menikah tahun depan, Gil," tanya Gladis sesenggukkan. Tak peduli dengan orang-orang yang mulai menatap mereka.

"Kita selesai, Dis."

~o0o~

Namanya Zami, Ahmed Alzami Abisatya. Nama yang cukup bagus, kan? Zami adalah pria dewasa —single fiisabilillah­­­­— berdarah Arab - Jawa yang berprofesi sebagai dokter anak di sebuah rumah sakit terkenal di bilangan Jakarta.

Orang bilang dia tampan, mampan, dan family-man. Mungkin karena di antara semua teman prianya, hanya Zami yang paling mahir momong anak kecil. Maklum, pria yang tahun ini akan genap 28 tahun itu punya dua keponakan menggemaskan hasil pernikahan sang kakak, Zahra dengan Aldi. Tinggal sendiri membuatnya mau tidak mau harus bisa memasak, paling tidak, untuk menghemat pengeluaran. Penghasilan seorang dokter memang cukup besar, tapi sebagian lagi dia tabung demi biaya yang lain, menikah contohnya.

Omong-omong menikah, umur Zami sudah sangat pas untuk mempersunting seorang wanita sebenarnya, tapi entah kenapa, belum ada yang cocok di hati. Umma—begitulah dia memanggil ibunya—pun sudah sering menyuruh Zami membawa seorang wanita untuk di kenalkan.

"Sabar, Ma. Allah belum mempertemukan Zami dengan calon menantu Umma," jawabnya saat itu.

Sebelum tidur, Zami terbiasa membaca buku-buku kedokteran untuk menambah wawasan terutama buku tentang anak dan parenting. Memang sejak dulu, Zami sudah menyukai anak-anak. Mereka menggemaskan dengan pemikirannya yang masih bersih dan rasa ingin tahunya terhadap dunia luar yang cukup besar. Itu sebabnya, Zami memilih menjadi dokter anak supaya lebih dekat dan lebih memahami mereka. Yah, bisa di bilang sekalian belajar mengurus anak, kan?

"Astaghfirullah... lupa mau beli apel buat Ara." Zami melirik jam di dinding.

Sudah jam setengah dua belas begini, apa supermarket masih buka, ya?

Dengan cepat Zami menyambar kunci mobil dan bergegas membeli apel pesanan Ara.

"Selamat malam, Mas. Selamat datang." Zami tersenyum singkat. Mengambil keranjang belanja dan mencari apel. Ara adalah adik almarhumah Natasya, keponakannya yang pertama.

"Nggak ada apel merah, kira-kira bakal ngambek nggak ya, kalau dibawain apel hijau?" Zami menggaruk kepala belakangnya yang sebenarnya tidak gatal. Ara itu gampang marah, tapi dia menggemaskan. Ara juga sangat menyayangi Zami, pun sebaliknya.

Dengan beberapa pertimbangan, Zami memutuskan membelikannya apel hijau, stroberi, anggur merah, kiwi, juga beberapa es krim dan susu coklat kesukaannya.

"Selamat malam, Mas."

"Malam, Mbak." Zami meletakkan keranjang belanjaan. Membiarkan kasir itu menghitung total harga belanjanya.

"Semuanya jadi seratus ribu rupiah, ada lagi, Mas?"

"Cukup, Mbak." Zami memberikan selembar uang kertas seratus ribu.

"Mau pulsanya sekalian?" Zami menggeleng sambil tersenyum, "Nggak, Mbak. Lain kali aja."

"Jus jeruknya sedang diskon, Mas. Beli dua gratis satu. Atau coklat bar-nya juga sedang potong harga dari dua puluh tiga ribu jadi sembilan belas ribu aja."

Zami nampak berpikir sejenak. Dia lantas tersenyum, "Coklatnya boleh, Mbak. Dua, ya?"

"Baik, Mas." gadis ber-name tag Yulia itu memasukkan coklat bar Zami.

Lihat selengkapnya