Sejak pagi kediaman keluarga Zami sudah disibukkan aktifitas memasak di dapur. Hari ini ulang tahun Ara, dan Zahra berniat merayakannya dengan selamatan yang akan dihadiri oleh keluarga besarnya dan beberapa orang terdekat.
"Pagi Ma, Mbak." Zami mengecup kening Rami dan Zahra bergantian. "Zami bantu apa, Ma?" mata teduhnya mengamati banyak bahan mentah di dapur. Hari ini Zami mengenakan setelan santai ala rumahan. Kaos polos dan celana selutut.
"Kamu cuci aja sayurannya, Zam. Masak mi bihun. Bisa, kan?"
Zami mengangguk mengerti. Dia mulai mencuci wortel, kol, seledri, daun bawang, dan sawi hijau. Dipotong semua bahan tersebut dan mulai menumis bumbu yang sebelumnya sudah disiapkan Zahra. Setelah selesai, Zami memasukkan sayuran tadi dan mi bihun yang sudah direbus lalu dioseng sebentar. Tak butuh waktu lama sampai masakannya selesai.
Zami berlanjut membantu memasak yang lain seperti ayam goreng, sambal kentang, daging semur dan menggoreng kerupuk.
"Zam, coba tolong cek Acha dong. Kayaknya dia demam, deh." Acha adalah nama panggilan Tasya.
"Kenapa baru ngomong sekarang, Mbak?" Zami mencuci tangannya dan bergegas menuju kamar Tasya. Sesampainya di kamar, Tasya sedang meringkuk di dalam selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya.
"Dek, mana yang sakit?" Zami duduk di tepi ranjang. Tasya menatapnya sayu dengan wajah pucat.
"Pusing, Kak. Tenggorokan Acha rasanya keganjel." Zami mengecek suhu badannya yang cukup tinggi. Seingatnya, amandel Tasya sempat membengkak.
"Kamu banyak makan ciki ya, Dek? Amandel kamu gede banget, tuh. Sebentar, ya, Kakak coba cari obatnya."
Amandel memang sering terjadi pada anak-anak. Faktornya kalau nggak makanan ringan ya minuman dingin. Anak akan demam tinggi saat amandel membesar.
"Nih, Dek, diminum dulu. Udah makan, kan?" Zami membantu Tasya untuk duduk agar mudah meminum obatnya. Zami mengusap lembut kepala Tasya. Sentuhan lembutnya ini yang paling disukai pasiennya. Ketika sakit, terutama anak-anak, mereka akan lebih manja dan sudah tugas orang dewasa memberinya kenyamanan supaya proses penyembuhan si anak bisa lebih cepat.
"Kamu nggak mau operasi aja, Cha? Nanti kan dibius, nggak akan sakit, kok." Tasya menggeleng, Baiklah, Zami tahu keponakannya ini penakut.
"Nggak mau, Kak. Nanti aja."
"Kalau siap operasi, langsung bilang Bunda ya, biar Kakak yang urus sisanya."
"Iya, makasih ya, Kak." Tasya pernah memanggilnya 'Om' tapi, Zami langsung protes. Kalau Ara ya, di maklum.
Zami meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ada sebuah pesan masuk sepuluh menit yang lalu. Itu saat Zami sedang memeriksa Tasya.
Gladis Anjani : Hari ini sibuk nggak lo? Gue mau traktir lo makan.
Zami tersenyum. Dua minggu yang lalu mereka bertukar nomor dan akhirnya Gladis menghubungi Zami. Tanpa sadar, perempuan itulah yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya.
Alzami Abisatya : Free, kok. Saya jemput aja ya?
Gladis Anjani : Nggak usah, ketemuan aja di kafe X. Jam delapan malam.
Siang ini seluruh keluarga besar Zami berkumpul. Memang ini salah satunya cara mereka menjaga ikatan dengan berkumpul di momen ulang tahun.
Zami menyalami rombongan yang datang dari Wonogiri, Jawa Tengah.
"Apa kabar, Nang? Udah sukses ya sekarang." Zami tersenyum mendengar Budhenya masih menyebutnya Cah Lanang. Sebutan untuk laki-laki jawa.
"Aamiin, Budhe. Alhamdulillah,"
"Kamu kapan, Le, nyusul Mbak Yu-mu?"
"Doain aja, Mbah, bisa secepatnya," balas Zami sopan dengan bahasa jawa yang masih faseh.
Rami datang dari arah ruang makan. "Ayo, makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya."
Acara makan bersama terasa hangat. Sesekali mereka bercerita tentang keadaan kampung. Sudah lama rasanya Zami tidak ke sana dan katanya sudah banyak pembangunan di pusat kota.
Keluarga tinggal di daerah Bulusulur, Kabupaten Wonogiri. Walaupun di jalan utama, tapi udara di sana masih sejuk. Bahkan airnya masih sedingin di pegunungan.
Ada beberapa pertanyaan yang paling Zami hindari dari semua pertemuan yang ada dirinya di dalamnya. Seperti ....
"Kapan mau melamar gadis, Zam? Umurmu itu sudah berapa? Kerjaan udah jelas, tabungan sudah cukup untuk hajatan, kamu juga nggak jelek, kok."
Zami hanya menjawab seadanya sambil tersenyum tipis. Percuma juga dijelaskan, perkara jodoh kan, sudah ada yang mengatur. Zami juga bukannya tidak berusaha untuk mencari pendamping hidup, hanya saja memang belum ada yang pas.