Semenjak kejadian malam itu, Zami dan Gladis jadi dekat. Memang judesnya masih dibawa kemana-mana. Ya, mungkin sudah tabiatnya. Gladis mulai rajin salat walau harus diingatkan. Kadang, meski sudah diingatkan Zami, Gladis masih melalaikan kewajibannya. Dia masih suka ke kelab malam, tapi tidak sesering dulu. Namanya manusia, berproses menjadi lebih baik memang butuh waktu. Masak mi instan saja butuh waktu supaya siap dimakan, kan?
Gladis berulang kali memikirkan kata-kata Zami. Entah kenapa, ada rasa sejuk lewat di hatinya meskipun singkat, sesudahnya ego perempuan itu kembali mengaburkan pikiran positif Gladis
"Dihabiskan makanannya, Dis. Kalau kata orang tua zaman dulu, nanti nasinya nangis."
"Halah, masih aja suka didongengin. Namanya udah kenyang mau dipaksain? Makan berlebihan juga nggak boleh."
"Kenapa tadi pesan segini banyak, hm?"
"Bawel ya, gue bayar kok tenang aja."
"Bukan—"
"Udah lah, gue mau balik kerja dulu." Gladis bergegas menyelesaikan sarapannya, lalu pergi meninggalkan Zami sendiri. Pria itu menghela napas lagi.
Umur sudah dua puluh lima tapi masih ambekan. Dasar, Cenil.
Oh iya, Cenil itu nama kucing Aldi. Ingat kan, Zami pernah bilang bahwa Gladis ini mirip kucing Aldi?
Acara makan pagi dua orang itu berakhir begitu saja. Zami tidak bisa berkata-kata lagi kalau sikap keras Gladis mulai keluar. Setelah membayar makanannya, Zami kembali ke rumah sakit. Hari ini ada jadwal mengecek kondisi pasiennya yang dirawat inap.
"Nan, saya mau salat Dhuha dulu, kalau ada pasien, suruh mereka tunggu sebentar, ya." Dinan mengangguk sambil tersenyum. Hafal dengan rutinitas dokter favoritnya itu saat jam sembilan atau sepuluh pagi.
Salah satu rahasia rezeki lancar adalah salat sunnah Dhuha. Salat sunnah Dhuha juga sebagai ucapan syukur atas nikmat rezeki yang Allah kasih, juga membuat kita semakin dekat dengan Sang Khalik.
Alzami Abisatya : Dis, jam sembilan jangan lupa salat sunnah dhuha dulu. Biar urusan hari ini diringankan. Salah satu salat yang bisa melancarkan rezeki, lho.
~o0o~
Ponsel Gladis bergetar lengkap dengan nada pesan WhatsApp masuk. Gladis melirik nama si pengirim yang lagi-lagi mengingatkannya untuk salat dan Gladis kembali melanjutkan aktifitasnya semula. Seperti biasa, dia akan pergi ke kelab bersama teman-temannya. Sudah seminggu ini dia absen ke sana karena malas. Tidak biasanya, kan?
Nanti aja, balik dari sana gue salat. Kan waktunya juga masih panjang sampai menjelang subuh, batinnya.
Gladis hidup sendiri sudah lama. Sesekali keluarganya yang tinggal di Los Angeles menghubungi, dan Gladis hanya berbincang sebentar dengan mereka. Hubungannya dengan sang ayah dan ibu memang sedikit kurang lancar. Mereka sibuk menimbun uang hingga tak punya banyak waktu untuk mengurus dan mengajari Gladis banyak hal, seperti yang biasa dilakukan oleh orang tua teman-temannya.
Jangan kira Gladis bertengkar. Mereka hanya kurang komunikasi sehingga rasanya canggung saat ibu atau ayahnya menelpon. Sudah terbiasa tanpa kabar, sekalinya mengabari hanya memberitahu bahwa uang bulanan Gladis sudah mereka transfer ke rekening. Sungguh, bukan uang mereka yang Gladis butuhkan.
Gladis yang tanpa make up saja sudah memesona, kini dia semakin cantik saat sentuhan make up sedikit bold dibubuhkan di wajahnya. Gladis tersenyum tipis di depan cermin, memerhatikan kembali penampilannya, dan bergegas pergi. Bayangan musik yang berdentum keras dan dirinya yang berjoget bebas membuat Gladis tak sabar merasakannya.
Hei, Dis, inget dosa udah menggunung. Ayo, salat dulu.
Dan pekikan sang malaikat putih penghuni hati kecil Gladis pun terabaikan. Dia semakin mantap menuju kelab malam.
Zami selesai mengunjungi pasiennya untuk pemeriksaan rutin dan sedang berjalan menuju ruangannya. Terakhir mengecek ponsel, tidak ada balasan masuk dari Gladis. Mungkin dia sudah tidur sekarang.
Samar-samar, Zami mendengar suara beberapa langkah kaki tampak berlari dari arah berlawanan. Dan benar saja, di ujung lorong terlihat beberapa perawat yang Zami kenal sedang mengurus pasien gawat darurat. Sepertinya korban kecelakaan. Lumayan banyak juga darahnya.
"Nan, ada korban kecelakaan?" tanya Zami saat mahasiswa magang itu memang berjalan ke arahnya. Dinan mengangguk.
"Cewek, Dok. Cantik banget pula. Cocok lah sama Dokter yang tampan kayak anggota boyband koriyah."
"Korea, Nan. Udah ditanganin?"
"Udah Dok, sama Dokter Fedi." Zami mengangguk mengerti. Perempuan cantik, katanya. Seingat Zami, dia belum bertemu lagi dengan wanita cantik selain Gladis. Jangan bandingkan dengan Isyana atau Raisa, ya. Mereka cantik dengan pesonanya masing-masing. Pun, dengan Gladis.
Kemudian, salah satu perawat tampak menghampiri Dinan.