Zami tersenyum memasuki ruang rawat inap Kina, salah satu pasiennya yang terkena tifus.
"Selamat sore, Kina," sapa Zami ramah.
"Sore, Dokter," balasnya. Zami tersenyum, memakai stetoskop yang menggantung di lehernya, dan mulai memeriksa gadis tersebut.
"Gimana badannya?"
Kina menggeleng, "Udah lebih enak, Dok. Aku kapan pulang ya?"
"Kalau kamu stabil seperti hari ini, istirahat yang cukup, dan kurangi bermain ponsel, besok atau lusa juga sudah bisa pulang, kok." Zami mengusap lembut pucuk kepala Kina.
"Yahh.. Masih lama banget, Dok."
Kina membuka mulutnya saat Zami mengarahkan termometer ke arahnya. Sekadar memastikan kembali bahwa suhu tubuhnya sudah normal.
"Kenapa buru-buru mau pulang, hm? Mau ketemu pacar, ya?"
"Ih, apa sih, Dok? Aku masih jomlo. Sebentar lagi ada lomba paskibra, aku kan udah absen latihan seminggu. Masa danton pasukan malah tumbang."
"Justru karena kamu danton, makannya harus jaga kesehatan. Pulang dari sini, jangan latihan dulu, ya. Latihan paskibra pasti seharian, nanti kamu drop lagi. Istirahat dua sampai tiga hari full, baru boleh latihan."
"Iya deh, Dok. Tapi bener, ya, besok udah bisa pulang?"
Zami mengangguk kecil, "Sembuh dulu, ya? Biar bisa ikut lomba paskibra lagi. Dokter pamit dulu, salam buat Mama kamu."
"Makasih, Dok."
Zami menutup pintu ruangan Kina. Setelah ini, Zami bisa menjenguk Gladis. Diliriknya jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul lima.
"Dokter Zami!"
Zami menoleh ke samping. Melihat Dinan yang berlari kecil ke arahnya. "Ingat aturan rumah sakit? Jangan lari-lari di lorong kalau bukan keadaan darurat, apalagi bikin gaduh. Nanti pasien kita terganggu."
"Hehehe... maaf, Dok. Data pasien ruangan Cempaka tiga atas nama Bu Arini sudah saya ketakkan di meja kerja dokter, ya?"
"Oke, terima kasih, Nan. Kamu nggak usah lembur hari ini. Kerjaan udah selesai, kan?"
"Tinggal buat laporan aja, Dok. Dokter juga sudah selesai, kan? Saya nggak enak kalau pulang duluan."
"Saya masih punya satu yang perlu saya cek, Nan." jawab Zami. Dinan menatapnya bingung dan kembali mengecek daftar pasienku.
"Tapi, Dok, di catatan saya, harusnya Kina jadi oasien terakhir dokter hari ini."
Percuma, Nan, nama Gkadis nggak akan terdaftar di sana. Wong ini kunjungan pribadi, kok.
Zami berjalan menuju ruang rawat inap Gladis diikuti Dinan di belakang. Jam prakteknya sudah selesai hari ini. Kemungkinan, dia bisa menemani Gladis sampai orang tuanya tiba di Indonesia.
Omong-omong, Zami baru tahu juga bahwa orang tua Gladis tinggal di luar negeri sejak lama. Itu artinya selama ini Gladis tinggal sendiri, kan?
Zami sudah ada di depan ruang rawat Gladis dan membuka pintu perlahan.
"Suster Fara, Dokter Fedi mana?" tanya Zami pada Fara yang baru saja selesai melakukan pemeriksaan lanjutan untuk Gladis.
"Dokter Fedi sedang ada operasi cito setengah jam lalu."
"Oke, sudah selesai diperiksa?"
Kulihat Fara sedikit menautkan alisnya bingung. Tapi ia memilih mengangguk saat menangkap kode mataku mengarah ke Gladis.
"Sudah, Dok. Saya permisi."
Zami belum menghampiri Gladis sampai Fara menutup kembali pintu ruangan tersebut. Kini tersisa dia dan Dinan. Zami berjalan mendekat ke brankar Gladis yang ditutupi gorden putih.
"Sore, Dis," sapa Zami. Gladis menoleh dan melotot kaget saat tahu Zami di ruangannya.
"Lha? Lo ngapain di sini?"
"Kunjungan pasien ... mungkin?"
"Setahu gue, dokter yang nanganin bukan lo, deh." Zami tersenyum mendengarnya. Mendekati ranjangnya dan mengamati luka lecet di tangannya.
"Ada yang fatal?" tanya Zami basa-basi. Dia sebenarnya sudah mendengar rincian lengkapnya dari Fedi dengan imbalan, Zami harus menceritakan detail lengkap bagaimana dia bisa mengenal Gladis. Lihat, kan? Nyaris tidak ada yang gratis di abad sekarang. Bahkan antar teman sekalipun.
"Nggak ada."