Dandelion

Chika Andriyani
Chapter #6

Bab 6

"Lo jangan kayak cowok homo deh, Zam," seru Fedi. Zami terlihat tidak peduli dan masih duduk di sofa panjang ruangan Fedi sambil menatap sahabatnya dengan tenang.

"Gue masih doyan cewek, Fed. Kalau pun homo, gue lebih milih cari di tempat gym yang jelas berotot dari pada lo yang cungkring begini."

"Sinting emang lo, Zam. Kelamaan jomlo ya gini."

Zami terkekeh mendengarnya.

Selesai mengunjungi Gladis, Zami langsung ke ruangan Fedi dan menunggu operasinya selesai. Sekitar dua jam kemudian, Fedi masuk dan dia langsung mengomel tentang -lo udah kayak istri yang nungguin suaminya pulang kerja dan ketiduran di ruang tamu-.

Dulu, dulu sekali ketika SMA, aku dan Fedi terlibat gosip bahwa kita adalah pasangan homo hanya karena aku selalu pergi bersamanya. Mulai dari teman sebangku, teman kelompok, teman nongkrong, hingga teman ke mal pun dengannya. Bahkan ketika Fedi berpacaran dengan Lisa yang sekarang statusnya sebagai tunangan, aku tetap bersama Fedi.

"Zami!" aku tersenyum saat Lisa setengah berlari menghampiriku. Raut wajahnya sih agak nggak bersahabat. Entahlah.

"Ada ap-"

"Gue cemburu!" sentaknya. Aku menaikkan sebelah alisku.

"Dalam hal apa?"

Kulihat dia menghela napas kasar, "Ya, lo berdua. Lo dan pacar gue, Fedi."

Aku menyentuh keningnya, dan berpikir, "Lo nggak sakit, Lis, tapi kenapa lo ngelantur kayak orang sakau gini? Lo mabuk matkul Biopsikologi? atau Psikologi Klinis?"

"Gue serius, Zam! Jauhin pacar gue!" aku terbahak mendengarnya. Wajahnya yang menahan kesal benar-benar lucu. Pantas saja Fedi benar-benar tergila-gila dengan Lisa. Karena hanya dia lah, Fedi bisa menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Fedi mati-matian mengejar Lisa yang cuek dan ketus. Melepas gelar playboy cap kadal yang sudah ia sandang sejak SMP. Yang satu sekolah dengan kami pasti tahu.

"Mau ngopi dulu di kafe depan? Nggak enak di depan umum gini, bisa-bisa kita ke-gap rakyatnya lambe kampus." ucapku pelan. Lisa pun menyetujui ajakanku. Aku segera mengirim pesan untuk Fedi, meminta izin untuk meminjam kekasihnya sebentar.

Kami sampai di kafe yang tak jauh dari kampus. Lisa sudah di dalam kafe, meninggalkanku yang sedang memarkirkan motor. Kami memang ke kafe berboncengan, selain cuaca cukup terik, akan memakan waktu sepuluh menit untuk sampai dengan berjalan Kaki.

"Lo kayak biasa, kan, Zam? Udah gue pesenin." aku tersenyum menanggapi, mengambil tempat duduk berhadapan dengannya dan membalas pesan yang di kirimkan oleh Fedi.

FK Fedi Brawijaya : Aset gue tuh, jangan sampe lecet. Kalo lecet, gue jadiin sambel otong lo.

Aku tertawa kecil membacanya. Fedi dengan segala kecabulannya. Ancamannya nggak akan jauh-jauh dari otong. Susah memang otak kriminal mah.

"Chatting-an sama siapa sih, Zam? Gue mau ngomong nih." gerutu Lisa. Aku menatapnya geli dan menujukkan isi LiNe Fedi.

"Tuh, kerjaan pacar lo."

"Dasar otak cabul emang. Stop bahas dia. Sekarang gue mau bahas kita."

"Kita? Kita apa, Lis? Gue sampe berdebar gini."

"Alzami!" ketusnya. Aku terbahak.

Ia masih menatapku tajam, aku menarik napas sejenak. "Oke, ada apa?" tanyaku pelan.

"Gue cemburu sama lo berdua. Yang pacarnya Fedi itu gue apa lo sih, Zam? Kenapa Fedi lebih banyak waktu sama lo?" Lisa mulai serius. Aku mulai mengerti arah pembicaraannya.

"Atau jangan-jangan rumor tentang lo berdua itu gay memang benar?" jantungku terasa berhenti. Seriusan ini anak percaya?

"Lo anak Psikologi kan? Apa pelajaran yang lo dapet nggak berguna, Lis? Gue masih normal, Fedi pun sama. Buktinya dia macarin lo, kan?"

"Ya, jangan salahin gue kalo gue percaya sama rumor kacangan itu, Zam!"

Aku menghela napas pelan, sedikit mengurut pelipis yang mendadak pening.

"Lo bilang kacangan, tapi masih percaya? Dengerin gue, gue cuma sahabat Fedi. Kita bareng dari orok, dari sama-sama masih pake gurita sama bedong, berlanjut pake popok, sampe sekarang. Mana mungkin gue sama dia saling cinta? Mikirin aja ogah."

"Dia salah satu orang yang gue percaya, walaupun otaknya cabul, sekali pun di ganti pake otak kancil yang terkenal cerdik pun, dia tetep aja Fedi yang kita kenal. Dia yang tau gue luar dalam, dia udah kayak sodara kandung gue, Lis."

Lisa hanya diam, mulai memikirkan kata-kataku. Ya, untuk bahan intropeksi juga, mungkin intensitas kebersamaanku dengan Fedi sudah menyakitinya. Sejak saat itu, Lisa sudah bisa menerima persahabatan kami, walau terkadang Lisa masih ngotot menyuruhku menjauhi Fedi.

Lihat selengkapnya