“Anna”
Teriak seseorang melambai di dalam kafe. Seorang perempuan dengan rambut hitam panjang, kakinya jenjang yang dibalut celana jeans dan tubuh ramping yang memakai kemeja coklat. Perempuan itu berlari sedikit menuju lambaian tangan dari temannya.
“Maaf aku terlambat. Tadi sangat macet di jalan,” alasannya.
“Tidak apa-apa. Duduklah,” suruh seseorang lelaki.
“Sayang, pesankan minuman untuk Anna!” perintah Aqisha.
Aqisha adalah temanku sejak SMP hingga kuliah pun kita bersama. Setelah lulus kuliah Aqisha bekerja di sebuah Bank dan aku membangun usahaku sendiri. Aqisha dengan aku adalah dua sahabat yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai informasi saja, Aqisha sudah mempunyai kekasih, yang tadi dia panggil sayang, tentu saja itu kekasihnya. Akan tetapi, kenapa ada seseorang lelaki yang sangat tampan bersama kita di kafe ini. dalam hatiku mungkin dia adalah temannya Garry, kekasih Aqisha.
Aqisha menepuk jidatnya dan menatap aku, “ah, aku lupa memperkenalkan dia kepadamu!” ucapnya. “Anna, kenalkan dia adalah albirru biasa dipanggil Albin. Dia temannya mas Gary.” sambung Aqisha memperkenalkan lelaki itu. “Albin kenalkan dia anna, temanku”
Aku mengajukan tanganku bersalaman dengannya. “Albin” ucapnya menyebutkan namannya. “Anna” balasku kepadanya.
Garry datang dengan segelas coffe latte di tangannya. Kemudian memberikannya didepanku.
“Anna, Albin ini temanku dari Surabaya. Dia teman kuliahku dulu dan dia kesini mau liburan di Jepara, ” jelas garry.
“Ah, begitukah? ” jawabku.
“Apa pekerjaanmu di Surabaya?” Aqisha bertanya pada Albin.
“Dosen”
Aku menganggukkan kepala. Tidak salah jika ia sangat tampan dan wajahnya sangat bersih karena ia seorang Dosen. Aku mencuri pandang kepadanya sambil berpura-pura meminum kopiku. Aku menatapnya begitu lama, hingga ia membalas tatapanku dan aku segera menatap kearah lain. Aku merasa malu. Ia seperti mengetahui bahwa ia sedang ditatap orang di depannya. Aku menundukkan kepalaku dan aku merasa ia masih menatapku dalam diam.
“Aqisha bilang padaku, bahwa kamu adalah seorang pengusaha rumah makan. Apakah itu benar?” tanyanya membuat ku gugup. Begitupun Aqisha dan Garry menatap albin penuh tanda tanya.
Aku pun langsung menoleh ke arah aqisha, “kamu menceritakan padanya?” tanyaku menyidik pada Aqisha.
Aqisha hanya menganggukan kepala.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” garry menyenggol lengan Albin.
“Karena aku berada di sini aku harus mencicipi makanan khas ini. kamu selalu berpikir hal yang jelek kepadaku, ” balasnya.
“Maaf Anna, albin memang orangnya seperti itu dia langsung berbicara apapun yang ingin ia katakan!” Garry meminta maaf atas ulah temannya.
“Enggak apa-apa”
Tentu saja aku tak malu dengan usahaku sendiri. Aku memang memilih jalan yang berbeda dari Aqisha yang ia lebih memilih menjadi pegawai bank. Aku hanya ingin memilih hal yang kusukai. Aku sangatlah menyukai makanan dan hal itu didukung orang tuaku. Aku dibantu orang tuaku membangun rumah makan yang berisi banyak sekali macam-macam makanan dari jajanan pasar, mie ayam, bakso, batagor dan berbagai makanan lainnya. Aku menjalani rumah makan itu sudah 3 tahun. Banyak sekali orang dari luar kota yang berkunjung ke Jepara mampir untuk makan ditempatku. Aku pun sangat bangga dengan apa yang kuraih saat ini.
“Anna, nanti malam aku akan ke rumahmu. Tapi aku harus pergi dulu ke suatu tempat!” Aqisha memberitahuku dengan memasukkan barangnya kedalam tas.
“Kamu sudah mau pulang?”
“Iya, ada beberapa hal yang harus kuurus buat kerjaanku besok. Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal pulang dahulu?”. Aku menganggukan kepala.
“Kak garry juga ikut pulang?”
“Iya, kamu bisa menghabiskan minumanmu dulu. Tidak perlu bayar Anna, Albin sudah membayar semuannya”
“Terimakasih atas traktirannya” ucapku lirih.
“Iya”
“Kalau begitu kami pergi dulu ya!” pamit Aqisha.
Setelah kepergian mereka berdua. aku segera menghabiskan minumanku dan segera pergi meninggalkan Albin. “apakah kamu tidak nyaman berada disini denganku? Kalau begitu aku pergi saja!” katanya membuatku tak enak.
Aku menggelengkan kepala cepat, “TIDAK” sontakku berteriak. “tidak, bu...bukankah ini pertama kali mu di Jepara?” tanyaku.
Albin menganggukan kepala, “kenapa?” tanyanya balik bertanya.
Aku mencoba memutar otak, mencari jawaban. “Kalau begitu mau kutunjukkan berbagai wisata di sini?” kataku menyesal dalam hati untuk menawarkan diri.
Aku menatapnya. Ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengiyakan ucapanku.
Kami akhirnya pergi hanya berdua. kami pergi dengan mengendarai mobilnya yang cukup mewah. Aku menjadi alat navigasi baginya karena ia belum mengetahui jalanan di sini. Dia tidak banyak bicara saat menyetir. Saat hendak berangkat tadi, ia mengingatkan ku untuk memakai seatbelt. Aku rasa ia sangat gentleman sebagai lelaki. Ia juga cukup perhatian untuk orang yang cuek sepertinya.
“Berapa hari kamu berada di Jepara?” tanyaku memecah keheningan.
“Satu minggu” jawabnya singkat.
Aku mengangguk. Pembicaraan kita tak bisa berlangsung lama karena sepertinya ia tidak suka banyak bicara. Aku pun hanya terdiam menatap jalanan di depan. Aku sangat tidak nyaman dengan keheningan ini dan ingin segera pulang. Tanganku memegang seatbelt kencang dengan gelisah dalam diriku aku sedang membutuhkan toilet sekarang untuk melakukan ritual.
“Kita berhenti di Pom bensin dulu, aku mau mengisi bensin dulu!” ucapnya.