Dentingan bel sekolah tanda selesai istirahat telah berbunyi. Semua murid berlarian dari kantin menuju ke kelas masing-masing. Begitu juga dengan para guru yang bersiap mengajar di kelas mereka. Kedua guru perempuan sedang berdiri berhadapan di teras kantor sekolah. Mereka berbincang dengan asiknya sambil sesekali menyentuh tas satu sama lain.
“Cantik sekali!” puji bu Rania kepada tas bu Ani.
“Hadiah pernikahan ke 10 dari suamiku, bu” sahutnya menyombongkan diri.
“Selera suami anda memang tidak diragukan lagi”
“Lalu, bagaimana dengan tasmu. Pemberian dari suami juga?” bu Ani mengumpan balik.
Bu Rania mengangguk dan sedikit tersenyum. “iya. Ini hadiah ulang tahun saya tahun lalu. Cantikkan bu!” jawabnya sambil memutar badan dan berpose dengan tas yang dipakainya.
“Bu Rania tambah cantik dengan tas itu!”
Rara melewati kedua guru yang sedang pamer tas pemberian suami mereka. Matanya yang tajam tak hentinya meneliti model dan merek tas yang dipakai rekan kerjannya. Ia menghela nafas kasar melihat rekannya menyombongkan harta yng dimiliki.
“Apakah harus setiap hari menyombongkan apa yang dimiliki. Sungguh aku sangat bosan mendengar mereka menyombongkan harta milik suaminya!” lirih Bu Rifa menyamai langkah Rara.
“Biarkan saja, mereka masih ada hal yang disombongkan. Lihat saja nanti kalau mereka tidak mempunyai hal ungtuk disombongkan. Betah-betahin telinga aja!”sahut rara pelan.
“Ah, aku sudah sampai kelasku. Aku pamit dulu ya bu rara!”
“Iya”
Rara melanjutkan kembali langkahnya. “Kita lihat saja sampai kapan mereka dapat menyombongkan tas barunya!” batinnya penuh dendam. “Selamat siang!” sapanya ketika memasuki ruangan kelas.
Setelah menyelesaikan sesi mengajar matematika selama dua jam. Rara kembali ke kantor sambil menunggu sesi mengajarnya mulai lagi. Kantor terasa luas dan sunyi tanpa penghuni. Rara meregangkan badannya di kursinya. Lalu meregangkan leher ke kanan dan ke kiri. Ia kemudian mencoba memejamkan matanya.
“Apakah tidak ada guru di kantor?” berisik bu Rania memasuki kantor.
Rara membuka matanya. Ia kemudian memperlihatkan diri kepada bu Rania yang baru memasuki kantor. “ternyata ada bu Rara. Sedang menunggu jam ngajar juga bu?” tanya bu Rania.
“Iya, bu”
Rara menyalakan ponsel pintarnya. Ia membuka aplikasi belanja online. Jari jemarinya berselancar diatas layar ponsel yang penuh dengan gambar tas berserta harganya. Kadang kala ia tersenyum melihat model yang cocok tapi sepersekian detik ia memasang wajah kecewa.
Bu Rania bangun dari kursinya. “Bu Rara, aku titip tas saya dulu ya. Saya mau ke kamar kecil dulu!” pamitnya dengan meringis menahan buang air kecil.
Rara tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Iya,bu. Buatlah diri anda nyaman dan hati-hati di kamar kecil!” pintanya penuh perhatian.
Di gedung yang penuh dengan orang yang makan siang. Kedua orang tua Albin memasuki rumah makan milik Anna yang langsung dipandu oleh Anna dan Albin.
“Maafkan sangat berantakan, karena ini waktunya makan siang” sungkan Anna meminta maaf.
“Tidak apa-apa!” balas mama melihat bisnis Anna yang tampak sukses.
Makanan sudah tersusun rapi diatas meja. Beberapa makanan itu ialah, Sate kambing dengan saus kacangnya yang menggoda. Disampingnya lagi terdapat daging dengan kuah pindang dan melinjo yang bersatu padu dan siap untuk disiram keatas nasi hangat. Terdapat juga soto kudus yang berisi suwiran ayam dengan taoge didalam kuah berwarna beningnya. Selain makanan utama, makanan pendamping juga disiapkan seperti tahu petis, wajik gula aren, lumpia isi rebung dan putu ayu. Semua makanan yang tersaji itu adalah makanan yang dijual di rumah makanan Anna.
“Maaf kalau kami hanya menjamu bapak dan ibu dengan makanan sederhana. Andai kalau kami tahu jauh-jauh hari anda akan datang, kami akan menyajikan yang lebih dari ini!” ibu membuka pembicaraan yang duduk berhadapan dengan mamanya Albin.
“Kenapa harus repot-repot. Ini lebih dari cukup” sahut mama tersenyum ramah. “Aku sangat penasaran, bagaimana Anna bisa secantik ini, tapi ternyata ibunya sangat cantik dan ayahnya juga tampan. beruntungnya aku mendapat menantu perempuan yang cantik, sopan, berbudi luhur dan berpendidikan seperti Anna. Terimakasih telah mengizinkan Albin untuk Anna!” imbuhnya memuji calon menantu.
Anna terenyuh mendengar pujian yang dilontarkan kepadanya. Ia hanya bisa terdiam dan terpaku mendengar pembicaraan itu dan tak bisa menyahuti pujiannya. Baginya sekarang, ia hanya ingin berusaha yang terbaik atas tanggapan mamanya Albin saat diperjalanan tadi. Tapi mendengar pujian yang tulus dari hati mamanya ia semakin dengan hubungannya dengan Albin.
Ayah menyesap teh hangatnya. “Bagi kami, kami sangatlah beruntung karena Anna bisa mendapatkan lelaki yang mampu menyayanginya, melindunginya dan membimbingnya melebihi kami kedua orang tuanya” Ayah menimpali.
“Terimakasih telah membesarkan dan mendidik Albin sebaik sekarang”
Ibu kembali menyahut dengan tersenyum bangga melihat Albin.
“Terimakasih telah menerima Albin” untuk kali pertama papa berbicara. Papa tersenyum manis melihat kedua kekasih yang duduk berhadapan.
“Kalau begitu, silahkan menikmati makanan yang telah kami sajikan. Kami sangat terhormat menyajikan makanan untuk mama dan papanya Albin.
Ibu memulai menyajikan nasi diatas piring. Kemudian menyiramkan daging kuah pindang diatas nasi dan memberikannya kepada papanya Albin.
Beberapa waktu kemudian, ruangan yang penuh dengan pembicaraan beralih ke suara dentingan piring yang menari-nari diatas piring.
“Bagaimana jika nanti saya mengidamkan makanan dari rumah makan Anna”
Mama tersenyum kecewa sambil memajukan bibir seperti anak kecil yang merajuk.
Ibu tersenyum menanggapi. “dengan senang hati kami akan mengirimkan beberapa makanan ke Surabaya” imbuhnya.