Gedung-gedung yang tinggi. Asap rokok dan kendaraan sudah saling bercampur. Bunyi klakson dari roda empat dan roda dua. Semuanya sangat sibuk dikejar oleh waktu.
Di jalan pejalan kaki. Arusnya sangat kosong. Bahkan saking kosongnya bisa aku lihat hanya ada sepasang dua pasang kaki saja yang berjalan di sana. Mungkin karena luas jalan yang di sediakan hanya kurang dari satu meter saja. Atau mungkin juga karena semua pejalan kaki sudah berandalkan mesin-mesin motor mereka.
Di jalan yang kosong itu. Aku melihat seorang gadis kecil tengah berjalan sambil berjoged-joged riang dengan seragam merah putihnya yang sangat panjang hingga tak nampak alas kakinya.
Gadis itu berputar-putar sambil bernyanyi, seolah-olah ia baru saja mendapatkan kabar yang sangat menggembirakan. Ia bahkan tidak mempedulikan para pengendara yang melihatinya, sambil menunggu lampu merah di persimpangan. Gadis kecil itu bernama,…
“Rara!” panggil Bagas, kakak laki-laki Rara.
Bagas adalah seorang karyawan swasta yang bekerja di sebuah perusahaan kecil dengan jabatan yang tak terlalu tinggi pula. Ia adalah seorang yang sangat hardworker. Tentu saja itu ia lakukan karena ia merupakan seorang kepala keluarga yang harus menafkahi adik perempuannya yang masih duduk di bangku SD. Tanggung jawabnya untuk melepaskan Rara sebagai wali masih sangat jauh.
Mungkin sudah hampir sepuluh tahun berlalu sejak kematian orang tua mereka yang membuat Bagas dan Rara harus hidup berdua sahaja. Malangnya Rara yang mungkin belum sempat bisa melihat seperti apakah sosok ayah dan ibunya itu. Karena ayah ibu mereka wafat saat Rara masih usia satu tahun. Dan seperti yang kita tahu, bayi yang baru berumur satu tahun hanya sedikit sekali kenangan yang bisa diingatnya. Sekalipun kenangan itu tentang ayah ibu yang sangat dicintainya.
Tapi tidak mengapa. Bagi Rara, Bagas sudah seperti ayah, ibu baginya, sekaligus kakak dan teman berceritanya. Bagas selalu ada untuk menolongnya.
“Rara!”