Mobil mereka pun sampai di rumah sakit “sayang bunda” bersebelahan dengan mobil ambulance yang membawa jenazah Andrea. Ia menggendong Dian masuk ke dalam rumah sakit dengan perasaan yang sangat khawatir, di sisi lain jenazah Andrea pun diderek dengan cepat untuk di bawa ke ruang mayat.
Dua jam pun berlalu, Dian masih belum sadarkan diri, Tama masih menggenggam erat tangan perempuan yang kini tertidur lesu di hadapannya dengan suhu badannya yang mulai kembali normal. Tak henti ia memanggil namanya dengan nada lirih berharap orang yang dipanggilnya segera sadar. Orang tua Dian pun baru tiba di rumah sakit dengan wajah yang sangat panik karena anak semata wayangnya kembali masuk ke dalam rumah sakit setelah sekian lama.
“Sayang, kamu kenapa?” Tanya wanita paruh baya kepada putrinya yang sama sekali belum sadarkan diri sambil mengelus-ngelus rambutnya dengan air mata yang perlahan menetes membasahi pipinya.
“Eh tante,” sapa Tama segera bangkit dari duduknya dan melepasakan tangannya yang sedari tadi menggenggam tangan Dian.
“Nak siapa ya?” Tanya Bunda heran kepadanya. Ia belum pernah melihat sosok Tama. Seingatnya, Dian tidak pernah membawa teman lelaki ke rumahnya kecuali Andrea. “Lalu dia siapa?”
“Saya Pratama tante, teman sekelasnya Dian,” ucap Tama malu-malu kemudian mencium tangan Bunda.
Bunda tersenyum kepada Tama, “ohh gitu.” Ia lanjut bertanya, “eh nak Tama liat nak Andrea gak?” matanya melihat ke sekeliling ruangan Dian yang tidak terlihat sosok Andrea. Bunda sangat tahu jika Andrea adalah sosok yang paling khawatir atas apa yang terjadi kepada putrinya. Tapi hari ini, ia tidak melihatnya. Ia kemana?
Tama menatap mata bunda lekat dengan perasaan yang tak bisa ditahan, karena sangat sedih. “Andrea sudah meninggal tan,” jawabnya lirih dengan menundukkan wajahnya.
Setelah mendengar jawaban Tama, bunda hampir terjatuh. Namun segera di tahan oleh suaminya. Ia tak menyangka bahwa Andrea telah tiada. Bunda menghampiri Tama dengan perasaan yang tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya.
“Maksud nak Tama apa?” Lirihnya dengan tangis yang hampir pecah.
“Iya tan, Andrea baru saja meninggal karena kecelakaan.”
“Yaampun Andreaaa...” Hatinya hancur mendengar kabar kepergiaan Andrea. Ia tidak bisa membayangkan bagaiamana perasaan putrinya ketika mengetahui kenyataan pahit yang harus diterimanya.
Bunda masih lemas dan tak percaya, suaminya berusaha menenangkannya. Ketika suasana semakin dingin dan penuh tangis. Mereka semua terdiam seakan hanya gerakan jarum jam dinding yang terdengar di ruangan tersebut. Perihal kehilangan, tidak ada orang yang benar-benar merasa baik-baik saja dengan kata tersebut. Kehilangan selalu menjadi ketakutan terbesar bagi setiap insan yang ada di dunia. Bahkan tidak ada kata merayakan untuk sebuah kata kehilangan, karena untuk sebagian orang, perihal duka bukanlah hal yang pantas untuk dibagi kepada orang lain.
Beberapa jam kemudian masih dalam suasana yang hening, Dian bangun dari pingsannya dan menatap sekelilingnya yang sudah dikerumuni oleh orang-orang yang dikenalnya tapi matanya tidak menangkap sosok yang sangat dinantinya yaitu Andrea.
“Bun, ka Andrea mana?” ia langsung bertanya keberadaan Andrea. Bundannya hanya terdiam mendengar pertanyaan tersebut keluar dari mulut putrinya. Tanpa menunggu lama ia langsung memeluknya.
“Bun, ka Andrea mana?” Tanyanya sedikit memaksa.
Bundanya hanya terdiam tak memberikan sedikit pun penjelasan tentang keberadaan Andrea. Ia segera memeluknya dan mengencangkan pelukannya.
“Buuuun, ada apa?” tanyanya lagi setelah merasakan pelukan bundanya sangat erat. Tanpa diduga air mata pun mengalir deras dari kelopak matanya. Ia mengerang menyebut nama Andrea berkali-kali dan bertanya terus menerus kepada bundanya.
“Ka andree....” Teriaknya histeris sesaat hatinya merasakan sesuatu yang berbeda tentang Andrea, semacam perasaan kehilangan. Ia mencabut infus yang menempel di tangannya dan berlari keluar ruangan.
“Sayaaaang,,,,!” Bunda berusaha menghentikannya, tetapi ia terlanjur lemas melihat sikap putrinya yang sangat mengkhawatirkan.
Tama segera mengejar Dian. Langkah Dian lemas dan hampir tak bisa menopang dirinya. Ia pun terjatuh, Tama segera membantunya untuk berdiri dan membopongnya berjalan. Di tengah perjalanan menuju ruangannya kembali, ia berhenti sejenak saat mendengar ada suara derekan ranjang yang di atasnya ada seseorang yang sudah ditutupi kain tipis berwarna putih. Ia menghentikan perawat yang menderek ranjang tersebut, hatinya merasa bahwa jenazah tersebut adalah Andrea.
Tangannya perlahan membuka kain yang menutupi jenazah tersebut. Matanya pun membulat saat mendapati bahwa jenazah tersebut adalah seseorang yang sangat disayanginya, sosok yang sangat dipercaya dapat meyembuhkan lukanya selama ini, sosok yang tak akan pernah tergantikan. Ia terjatuh dengan dada yang sesak dan air mata deras mengalir di pipinya.
“Ka Andreaaaaaaaaaaa......” Teriaknya histeris sampai suaranya hampir habis. Tangannya terkepal menepuk dadanya yang sangat sesak. Enggak ini gak mungkin.
Ia bangkit kembali dan menggoyang-goyangkan tubuh Andrea dengan harapan bahwa apa yang dilihatnya itu tidak nyata. Tubuh Andrea yang sudah dingin tidak bereaksi apa-apa atas semua perlakuan sikap Dian.
“Ka Andrea bangun kak, gak lucu kak,” ucapnya tertawa kecil dengan kelopak mata yang sudah sembab. Ia kembali memanggil Andrea dengan suaranya yang sudah habis.
Tama berusaha menenangkan Dian yang sudah tak bisa mengontrol emosinya. “Yan tenang Yan,” ucap Tama merangkulnya yang terus mengerang. Dian melepaskan tangan Tama dan kembali menghampiri jenazah Andrea.
“Ka Andrea bangun kak,” paksa Dian. Ia sama sekali tak menyangka bahwa orang yang disayanginya kini terbujur kaku tak berdaya. Tuhan, pliis ini Cuma mimpi.
“Maaf jenazah harus segera di bawa ke ruang mayat,” ucap salah seorang pengantar jenazah tersebut dengan diiringi derekan ranjang.
“Ka Andrea....ka Andrea....ka Andrea,” tahannya memegang tangan Andrea yang dingin. Tama pun berusaha melepaskan genggaman Dian kepada Andrea yang sangat erat. Tiba-tiba orang tuanya pun menghampiri dan berusaha menenangakannya.