Pulau O.
Di Villa Leon.
Setelah makan malam dengan sebuah fakta yang membingungkan, Leon yang berhasil mendominasi si bocil Rose, tanpa bertanya langsung membawa Jasmine dan si bocil Rose ke Villanya.
Awalnya Jasmine berontak hebat, minta di pulangkan ke Villanya. Tapi karena si bocil Rose terus merengek dan tertidur di pelukkan Leon, Jasmine akhirnya mengalah saja.
Disebuah kamar mewah yang ada di lantai dua, Jasmine tampak terdiam sambil menatap wajah cantik putrinya yang terlelap.
Jasmine yang duduk di sisi ranjang, terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Kau, sungguh bukan Rose kah?” sederet kalimat tanya yang Leon lontarkan kala di resto, membuat Jasmine tak bisa melupakannya. Tatapan penasaran dari wajah tampan Leon terus mengganggu pikirannya.
Sedetik kemudian, serangan sakit di kepala Jasmine kambuh.
Lagi-lagi, potongan bayangan-bayangan kisah manis Leon yang bercumbu dengan seorang wanita muncul di ingatan Jasmine. Jasmine meremas kepalanya, merintih kesakitan.
Di saat yang bersamaan, Leon muncul dan melihat Jasmine yang tampak sangat menderita. Leon secepat kilat meraih tubuh Jasmine.
“Bebie, bebie. Kau kenapa?” tanya Leon dengan wajah panik. Leon mengusap wajah pucat Jasmine yang menutup matanya karena menahan sakit.
“Bebie, jangan membuatku takut. Sayang, apa yang terjadi?” Leon yang tak tau harus berbuat apa lalu menggendong tubuh Jasmine yang bergetar hebat.
Leon membawa Jasmine ke kamarnya.
“Panggil Brasto!” teriak Leon pada L, si tangan kanan.
L mengangguk sembari mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
30 menit kemudian. Seorang pria tampan, berkulit putih bersih tampak duduk di sisi ranjang Jasmine, sedang memeriksanya.
“Dia kah?” tanya Brasto si Dokter tampan sahabat Leon.
Leon tak langsung menjawab. Leon yang menatap wajah terlelap Jasmine dari pinggir jendela hanya memejamkan matanya sembari mengangguk.
Brasto menghela napas panjang.
“Sudah kuduga. Apa yang terjadi, mengapa dia baru muncul sekarang. Apa barusan kalian bertengkar karena ini?” Brasto menatap Leon, penasaran.
Leon mengelengkan kepalanya.
“Lalu, mengapa dia bisa seperti ini?” Brasto butuh jawaban.
“Entahlah, semua terjadi begitu cepat. Aku pun sedang berpikir tentang segala kemungkinan yang ada. Dan lagi, dia... Bukan Rose.” Leon menatap lagi wajah cantik Jasmine. Tapi kali ini tampak keraguan di wajah Leon.
“Heuh? Ap-apa yang kau bicarakan. Kau membuat ku bingung Le. Bisakah kau bicara menggunakan kalimat yang bisa ku mengerti?” Brasto tak paham.
“Dari pengakuannya, dia adalah adik perempuan Rose. Dan di perkuat dengan kesaksian putri ku. Jasmine.” Jelas Leon dengan wajah datar.
“Hah! Tunggu dulu. Ba-barusan kau bilang apa??? Put-Putri? Putrimu! Kau bilang putrimu!” Brasto kaget bukan main.
Brasto yang benar-benar butuh penjelasan terinci lalu berdiri dan mendekati Leon dengan mata membara. Di tatapnya serius wajah tampan sahabatnya yang terlihat mirip zombie lapar kena potas.
“Rose... Dia memberi nama Rose pada putriku? Dan sedang tidur di kamar sebelah.” Leon menjawab tanpa di tanya.