Aku berjalan dengan langkah lebar, terburu-buru. Ah, sudah dekat. Aku pun berlari-lari kecil. Angin musim dingin menerpa wajahku lebih kencang. Suhu udara di bawah nol derajat censius ini sedari tadi mencubiti kulit, gatal rasanya. Aku berlari lebih kencang sambil merapatkan tudung jaket, melindungi telinga yang memerah. Sebentar lagi, sebentar lagi. Aku terus menyemangati diri. Sekitar 100 meter berlari, akhirnya aku sampai di area terbuka Palais de Chaillot. Aku tersenyum lebar, menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan untuk menenangkan diri. Tapi nggak berhasil. Sebaliknya, napasku malah memburu, jantung semakin berdegup kencang.
Lalu entah ide dari mana, aku tiba-tiba berteriak sambil merentangkan kedua tangan, “Wooohoooo.... I am the queen of Eiffeeeeel...”
Maksudnya sih kepingin meniru akting dramatis om Leonardo Dicaprio di film Titanic. Tapi yakin sih, aku terlihat konyol di mata orang-orang di sekitarku, mereka memandangiku kaget lalu tertawa geli. Sekarang bukan hanya telinga yang merah, pipiku juga menghangat karena malu. Tapi aku nggak bisa nahan diri. Sepanjang perjalanan road trip Amsterdam-Paris, aku gelisah. Tidur nggak bisa, makan nggak enak, rasanya ingin cepat sampai. Setelah tujuh jam berkendara dan mobil mulai memasuki kota Paris, mataku langsung memburu kuncup Eiffel. Begitupun ketika check in hotel dan naik “metro”, kereta bawah tanah Paris, aku terus heboh setiap melihat Eiffel dari kejauhan.
Akhirnya, semua penantian itu terbayar tuntas. Lihatlah! Di depanku Menara Eiffel menjulang tinggi, begitu gagah. Aku bisa melihatnya secara utuh, dari ujung kepala sampai kaki, secara langsung. Bukan dari buku cerita bergambar yang dibelikan Papa Tjokro dulu, bukan poster film, bukan juga foto masa kecil Ratu, teman SMA-ku, yang memang tajir mampus sejak kecil.
Eiffel Tower adalah salah satu destinasi yang WAJIB aku kunjungi. Sejak pertama kali nonton Eiffel I’m in Love, aku jatuh cinta dengan Eiffel. Mohon jangan salah sangka dulu. Bukan kisah cintanya yang bikin aku wow—meskipun aku akui Samuel Rizal ganteng banget di film itu—karena kebetulan aku penganut “cinta itu bullshit”. Hidup mengajarkanku bahwa jatuh cinta adalah cara terbodoh untuk menyakiti diri. Oke, kita simpan cerita tentang ini nanti-nanti saja, balik dulu ke alasan why I love Eiffel Tower. Jadi gini, buatku Eiffel mengajarkan untuk berani tampil beda. Nggak takut dibilang aneh, diremehkan, apalagi dibenci, just because you want to be your true self. Kok bisa gitu? Dulu, Parisian atau warga Paris ternyata nggak suka, bahkan benci sebenci-bencinya dan menolak mentah-mentah pembangunan menara ini. Mereka merasa arsitekturnya ganjil, aneh, nggak sesuai sama nuansa kota Paris. Tapi lihat sekarang, Eiffel malah jadi primadona dunia, dengan keunikannya itu. Satu lagi yang bikin aku kagum. She’s also a survival! Sebelumnya Eiffel dijadwalkan tampil hanya 20 tahun, eh ternyata bertahan sampai hari ini. Eiffel juga berhasil selamat melewati Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Selamat dari sambaran petir, juga kebakaran. Buatku itu hebat.
Aku sebenarnya sudah gatal dari tadi ingin mengeluarkan kamera digital kecil dari kantong jaket, mengabadikan si cantik Eiffel. Belum ke Paris rasanya kalau belum berfoto dengan Eiffel! Tapi hatiku enggan beranjak. Aku masih berdiri mematung dengan senyum lebar, ingin merekam momen ini dalam ingatanku: Eiffel berdiri tinggi tanpa ada bangunan lain yang menyaingi. Langit terlihat biru bersih, kontras dengan warna kulit keemasan Eiffel. Taman di sekitarnya sebagian masih tampak hijau, tertata rapi dan indah. Aku membayangkan, pepohonan yang terlihat tinggal batangnya itu akan lebih rimbun dan berwarna saat musim semi nanti. I hope I get to see that!
Pikiranku pun masih mengawang jauh, kakiku seperti melayang. Rasanya seperti mimpi bisa berdiri langsung di sini. Baru kemarin aku sibuk bolak-balik kampus untuk menyelesaikan skripsi, naik angkot, berpanas-panasan pulang ke Bekasi. Rasanya juga baru kemarin aku dan adikku Rama, menonton lomba panjat pinang di bantaran Sungai Kalimalang saat Agustusan. Aneh jika memikirkan bahwa hari ini aku akan menikmati tur naik perahu menyusuri Sungai Seine.
Brrr.... Ughhh....
Aku mengigil. Angin yang tiba-tiba berembus kencang membuatku tersadar. Terlalu dingin untuk berdiam diri, ujung-ujung jari tanganku mulai membeku. Padahal aku sudah memakai sarung tangan berbahan wol yang cukup tebal.
Aku tersenyum tipis, darah anak tropis memang nggak bisa dibohongi.
Segera aku keluarkan kamera digital. Mondar-mandir mencari angle yang pas, sambil mencoba menghangatkan diri.
“Rana! Sini Tante fotoin kamu sama Eiffel,” Tante Mel menghampiriku dari belakang, akhirnya bisa menyusulku. Dia tergelak melihat aku sejak tadi melakukan berbagai pose selfie, tapi gagal total. Waktu itu teknologi foto belum sepraktis sekarang yang tinggal jepret menggunakan smartphone, sebenarnya sudah ada, tapi masih mahal sekali buat fresh graduate.
Aku menjawab dengan senyum girang, menyerahkan kamera miniku, lalu berpose dua jari. Tante Mel semakin semangat memotret, menyuruhku melakukan variasi pose lainnya. Tentu aku mengiyakan, tambah semangat berpose heboh.
“Mee tooo... me tooo...,” kakak beradik Liam dan Marieke, anak Tante Mel, berlarian menghampiri. Ingin ikut masuk jepretan kamera.
“Mau. ikut. juga. dong,” Pieter, suami Tante Mel, dengan bahasa Indonesia yang patah-patah juga menghampiri. Kami berempat lalu berfoto bersama Eiffel. Liburan akhir tahun kami di Prancis pun dimulai.
Sekitar satu bulan lalu, awal bulan Desember, aku tiba di rumah Tante Mel di Belanda. Bukan Perancis ya. Aku tinggal bersama Tante Mel, Pieter, dan dua anak mereka: Liam yang baru saja merayakan ulang tahun ke-8 dan Merieke yang berusia satu tahun lebih muda. Mereka adalah keluarga angkat atau host family yang menerimaku sebagai “au pair”. Melati atau biasa aku panggil Tante Mel berasal dari Indonesia. Dia bertemu dengan Pieter di Bandung, saat Tante Mel kuliah. Sempat beberapa lama pacaran jarak jauh, akhirnya mereka memutuskan menikah. Tante Mel pun pindah ke Belanda.
Aku bukan au pair pertama yang tinggal bersama mereka. Beberapa kali mereka mengundang au pair dari negara lain, meskipun kebanyakan memang berasal dari Indonesia. Tante Mel mengaku merasa lebih sreg tinggal dengan au pair yang punya latar belakang budaya sama. “Biar bisa makan rujak pedes barengan,” candanya satu waktu. Selain itu, dia ingin Liam dan Marieke sedikit mengenal Indonesia, bagaimanapun mereka setengah orang Indonesia.
Awalnya Tantel Mel kesulitan mencari au pair dari Indonesia. Saat itu program au pair belum populer di dalam negeri. Jujur, dulu aku pun kurang mengerti soal program ini. Kalau bukan karena informasi dari teman-teman kampus dan senior yang sudah lebih dulu ikut program ini, aku mungkin nggak akan pernah tahu bahwa ada jalan lain menuju ke Eropa, selain jalur yang lebih umum seperti beasiswa atau pertukaran pelajar.
Tapi sebelum kita lanjut, aku jelaskan dulu soal au pair ini secara singkat, kalau-kalau ada yang sepertiku dulu, nggak ngerti artinya “au pair” ini. Intinya, au pair adalah program pertukaran budaya untuk anak muda yang ingin menyelami langsung pengalaman hidup di negara asing dengan menjadi bagian dari anggota host family di sana. Mereka—host family ini—istilahnya menjadi wali atau penanggung jawab si au pair selama berada di negara tersebut. Umumnya au pair membantu mereka mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, tergantung kesepakatan awal. Sebaliknya, au pair berhak mendapat uang saku yang layak, makan, tempat tinggal, bahkan aku diberikan kesempatan ikut les bahasa Belanda (nanti akan aku ceritakan lebih detail soal pengalamanku ini).
Pertemuanku dengan Tante Mel juga kebetulan. Saat sedang mencari-cari host family, seorang kakak kelas memperkenalkanku dengan Tante Mel—dulu seniorku ini hampir jadi au pair Tante Mel, tapi karena satu dan lain hal dia nggak bisa pergi. Lewat wawancara online dengan Tante Mel dan Pieter, beruntung kami “klik”. For information, saat itu host family asal Belanda masih diperbolehkan mencari sendiri calon au pair mereka, tapi setahuku peraturan ini sudah berubah. Perekrutan au pair harus melalui agensi khusus. Kira-kira seperti itulah ya...
“Bagus bagus nih fotonya. Bisa buat profile picture baru di Facebook,” komentar Tante Mel saat kami me-review hasil foto kami di kamera.
“Bangeeet...,” aku antusias.
Kami pun melanjutkan perjalanan, berjalan santai menuruni tangga Palais de Challiot menuju Eiffel Tower. Palais de Challiot ini dibangun di atas bukit Trocadéro, makanya kita bisa melihat Eiffel secara keseluruhan dari sana. Berlima kami melewati Jardins du Trocadéro, semacam taman terbuka dengan air mancur, rumput, jalan setapak, dan dikelilingi pepohonan rindang. Tapi sayang air mancurnya nggak beroperasi, membeku sempurna. Liam bertanya-tanya apakah dia bisa bermain ice skating di sana, menurutnya itu pasti seru (aku sendiri kurang berpengalaman dengan olahraga ini. Pernah beberapa kali aku mencobanya di Mall Taman Anggrek, namun sepertinya aku kurang berbakat).
Winter tahun ini memang dinginnya bukan main, bahkan menurut standar bule asli seperti Pieter, apalagi buatku yang selama 22 tahun hidup hanya merasakan dua musim: hujan dan kemarau. Udara paling dingin yang pernah aku rasakan adalah waktu masih tinggal di Bandung, aku selalu menggigil saat mandi pagi sebelum pergi sekolah. Tapi setelah pindah ke Bekasi, aku biasa mandi subuh-subuh, dan masih saja merasa gerah.
Walaupun berat melewati cuaca ekstrem, aku justru merasa beruntung. Tahun ini aku bisa menikmati white christmas, salju menumpuk menyelimuti pohon, genting, mobil, dan jalan-jalan saat malam natal. Aku memang nggak merayakan natal ya, tapi aku bisa merasakan suasana spesial, karena hal ini—menurut Pieter—hampir sepuluh tahun belakangan nggak pernah terjadi. Keluarga Pieter, saat acara penyambutanku, pernah sambil bercanda mengatakan seakan-akan Holland menyambut kedatanganku dengan gembira.
Baiklah, cukup intermesonya, kita kembali ke Paris.
Sampai di ujung air mancur yang membeku, kami harus menyeberangi jalan raya.