Liburan akhir tahun usai, selamat datang rutinitas!
Pukul delapan pagi aku memulai hari, saat matahari baru mengintip dari cakrawala. Musim dingin bulan Januari membuat matahari lebih betah di balik selimut alam. Ibaratnya seperti karyawan nggak tahu diri: datang kesiangan, tapi pulang paling duluan!
Anak-anak masuk sekolah jam sembilan pagi, jadi aku harus segera bersiap—yang artinya aku hanya cuci muka, gosok gigi, dan langsung ganti baju—untuk membuat sarapan dan bekal sekolah. Mereka biasanya sudah stand by di depan TV sekitar 30 menit lebih pagi, ada serial kartun favorit yang harus mereka tonton setiap pagi. Beda banget sama adik laki-lakiku yang susahnya minta ampun kalau dibangunkan, pakai acara teriak-teriak pula, pokoknya repot sekali. Padahal usia mereka sama.
Kamarku ada di lantai satu, dengan jendela menghadap ke halaman depan rumah. Satu lantai dengan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. Kamar anak-anak ada di lantai dua, sebelah kirinya kamar mandi, sebelah kanannya kamar Tante Mel dan Pieter. Jadi, kebiasaan Liam dan Marieke bangun sendiri menyelamatkanku dari olahraga naik-turun tangga tiap pagi.
Setelah bersiap-siap, aku hanya perlu ke ruang keluarga dan bertanya kepada anak-anak menu sarapan yang mereka inginkan. Biasanya sih hanya bertanya topping rotinya mau apa: applestroop (sirup apel), hagelslag (sejenis meses), pindakaas (selai kacang), atau salami (sejenis sosis). Lalu aku tinggal membuatkan sarapan dan bekal sesuai request mereka. Yang aku heran, tas sekolah mereka hanya berisi makanan dan minuman, kadang ada mainan sih, tapi nggak pernah aku menemukan buku atau alat tulis lainnya.
Oh, satu lagi. Setiap malam aku bertugas menyiapkan pakaian untuk besok pagi, jadi Liam dan Marieke sudah berpakaian lengkap ketika turun. Kami tinggal sarapan saja.
Tante Mel dan Pieter juga biasa sarapan bersama sebelum berangkat kerja, dengan menu yang mereka buat sendiri. Kadang aku menyeduhkan teh atau kopi, tapi lebih sering Pieter yang membuatkanku latte dengan mesin kopi rumahan yang canggih. Gara-gara mesin ini, aku jadi maniak kopi pas pulang ke Indonesia.
“Rana, hari ini kamu belanja mingguan sendiri beneran nggak apa-apa ya?” sejak semalam Tante Mel melontarkan pertanyaan sama berkali-kali. Memang sih biasanya kami belanja kebutuhan mingguan bersama-sama karena lebih mudah kalau pakai mobil. Tapi aku nggak keberatan belanja dengan sepeda atau jalan kaki. Supermarket terdekat hanya satu kilometer dari rumah. Lagipula aku kurang kegiatan.
“Santai aja, Te. Aman terkendali.”
Tante Mel menggangguk, sepertinya sih lebih untuk meyakinkan diri sendiri.
“A cup of latte to start you day, Ms Kirana,” Pieter menyuguhkan mug dengan gaya ala-ala butler, sambil memanggil nama belakangku.
“Dank je wel[1],” aku tersenyum sambil menggenggam mug yang masih hangat.
“Graag gedaan[2].”
Lalu Pieter meneguk espresso-nya dengan cepat.
“Ah, at what time will you both be here tonight? I just remember I start my Dutch Course today,” aku baru ingat hari ini pertemuan pertama kursus bahasa Belanda.
“Yes, I remember, 8.30 tonight, right?” Tante Mel memastikan jadwalku.
Aku mengangguk.
“I’m home at about 8.00 or later, I’m not sure. But Pieter can come earlier,” Tante Mel melirik Pieter.
“Yes, don’t worry, I’ll be here at 7.00.”
“Thank you.”
Aku otomatis melirik jam dinding, pukul sembilan kurang lima belas menit, waktunya berangkat. Butuh sekitar 10 menit berjalan santai menuju sekolah. Aku akan menghabiskan latte dengan santai, setelah mengantar anak-anak.
“Let’s go kids,” aku bangkit dari duduk.
Liam dan Marieke segera menghabiskan minum lalu meletakkan piring dan gelas ke mesin pencuci.
“Have fun at school, kids.”
“Ya.”
Anak-anak berpamitan dengan peluk dan cium sebelum berangkat.
Jalanan lengang. Hanya satu dua orang lalu lalang. Ede, kota tempat kami tinggal, memang jauh dari keramaian. Penduduknya hanya 100.000 orang lebih, padahal luasnya kira-kira setengah dari Jakarta. Kebayang kan sepinya?
Kami berjalan melawati rumah penduduk yang sebagian atapnya tertutup salju. Pohon, pagar, jalanan, semua juga terlihat putih. Musim dingin terasa semakin mengganas. Embusan napas dari mulut kami menjelma uap yang mengepul.
Aku jadi teringat malam tahun baru di Paris minggu lalu, saat kami menikmati pertunjukan lampu Eiffel yang menakjubkan dari kejauhan, dengan tubuh menggigil. Eiffel terlihat meriah dihiasi kerlap-kerlip lampu beragam warna, menyala silih berganti membentuk pola mengikuti iringan musik. Lalu, countdown pun dimulai, 3...2...1... kembang api meluncur menghiasi langit, meledak berwarna-warni, sorak sorai penonton ikut menggema, begitu meriah. Sesaat aku melupakan tubuhku yang berteriak kedinginan. Euforia mengambil alih otakku, merangsang dopamin. Namun secepat itu ia datang, secepat itu juga ia pergi. Begitu pertunjukkan selesai dan penonton berbondong-bondong pulang, badanku kembali menggeligis. Kelelahan, kedinginan, ugh rasanya ingin cepat pulang. Kami berlima berjalan tergesa-gesa tanpa bicara, menuju tempat parkir. Liam dan Marieke langsung tertidur begitu sampai di mobil.
“Rana, look me!” Liam membuyarkan lamunanku. Dia melakukan atraksi seakan-akan mengeluarkan asap dari mulutnya.
Aku dan Marieke tertawa.
Saat masih tinggal di Bandung, aku sering melakukan permainan itu saat pagi begitu menggigit. Lucu sekali memikirkan bahwa anak-anak dari belahan bumi lain ternyata menganggapnya sama seru.
Sampai di sekolah, aku mengantar Liam masuk ke kelasnya, lalu gantian mengantar Marieke. Sekolah hanya terdiri dari satu bangunan—berbentuk kotak—yang dikelilingi taman bermain. Semua kelas berada di lantai satu, lalu ada ruang guru, juga space yang luas di bagian tengah—tempat anak-anak mengadakan pertunjukkan seni. Sekadar informasi saja ya, di sana sekolah dasar ditempuh selama 8 tahun, dari anak berusia 4 sampai 12 tahun. Kalau di kita sebutannya kelas (kelas 1, kelas 2, dan seterusnya), kalau di Belanda disebut Groep, dari Groep 1 sampai 8. Nah, Liam ada di Groep 4, sedangkan Marieke di Groep 3.
Biasanya aku menunggu sampai lonceng masuk berbunyi, dan murid-murid sudah duduk nyaman di kursi masing-masing, baru pulang ke rumah. Aku menyusuri jalan yang sama sendirian. Seorang laki-laki paruh baya berjalan dari arah berlawanan. Ketika mata kami bertemu, dia mengangguk dan menyapa, “Dag[3]”.
“Dag,” jawabku juga singkat.
Dulu aku kira orang barat itu individualistis. Salam sapa antar orang asing sudah jauh ditinggalkan. Nyatanya, di sini aku merasa diperlakukan dengan ramah. Tiap kali mengantar sekolah atau les Liam dan Marieke, banyak orang menyapaku, malah kadang mengajak ngobrol. Mungkin aku sudah termakan stereotip negatif yang kurang akurat.