Dank Je, Holland!

A. Anggiany
Chapter #4

BROKEN

Banyak mata mengawasi setiap gerak-gerikku, tapi aku coba untuk cuek. Mungkin lebih tepatnya aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, jadi nggak sempat memperhatikan sekeliling.

“Are you going to keep looking at your espresso Rana?”

Aku terkejut saat Pieter tiba-tiba mengambil cangkir espresso-nya yang sudah penuh dari mesin kopi di hadapanku. Sepertinya tanpa sadar sejak tadi aku melamun sambil memandangi tetesan kopi yang keluar dari mesin, sampai tandas.

“Sorry...”

Sumpah aku malu sekali, wajahku pasti mirip kepiting rebus.

You know what, I think it’ll be better if I steam the milk for you,” Pieter langsung gesit mengambil jug milk yang sudah terisi susu.

Aku langsung menahan gerakannya. “No, please, let me.”

“Okay. Just be careful, a bit more concentration will be good.”

Aku mengangguk. Oke, konsentrasi Rana!

Pieter sepertinya enggan duduk. Dia tetap berdiri di sampingku sambil menyeruput espresso, mirip bos yang sedang mengawasi karyawannya bekerja, supaya nggak melakukan kesalahan sedikit pun. Aku jadi merasa salah tingkah. Meski pun aku tahu maksudnya baik, dia hanya khawatir aku nggak sengaja melukai diriku sendiri.

Kami baru saja selesai sarapan, menghabiskan pagi santai di akhir pekan sambil ngobrol. Walaupun aku nggak terlalu mengikuti obrolan sih. Kebanyakan aku skip, dan hanya bicara kalau namaku benar-benar dipanggil. Makanya tadi aku menawarkan diri membuatkan kopi untukku dan Pieter supaya ada kesibukan. Eh, aku malah ketahuan melamun.

Yes! Satu cappucino selesai dengan selamat.

Dari ujung mata aku melihat Pieter mengembuskan napas lega.

Segitu mengkhawatirkannya kah aku? Aku mengerutkan dahi.

“I’m fine...,” ucapku dengan senyum lebar, seakan menjawab mata-mata yang sejak tadi menatapku heran.

“FINE, kalau kata Aerosmith itu singkatan dari Fucked Up, Insecure, Neurotic, and...”

Emotional... yeah I know,” aku memotong kalimat Tante Mel dengan cepat, merasa tersindir. Aku lalu duduk tenang dan meneguk kopi, sebelum angkat bicara lagi.

“Tapi beneran aku nggak apa-apa kok. Sehat, segar, dan so happy.”

“Wat is er mis met haar?” tanya Marieke yang memperhatikanku sejak tadi, kepada Tante Mel.

Aku memutar bola mataku, agak kesal dengan pertanyaannya. What’s wrong with me? Nothing is WRONG.

Tante Mel tergelak melihat responku lalu menjawab dengan kata yang aku nggak mengerti.

Verliefd?” aku penasaran.

In love,” jawab Tante Mel singkat, padat, cepat.

Mataku membelalak. Aku hampir tersedak.

WHAT?! NO! NO! NO!

“No, no, no. Marieke, Mami is joking. I am absolutely NOT verliefd.”

Oke, semua orang malah mentertawakanku. Ini nggak lucu. Aku seratus persen serius. Lagi pula dari mana sih Tante Mel bisa menyimpulkannya? Oke, aku mengakui belakangan ini aku kadang melamun. Well, sejujurnya sering sih. Dan oke, aku memang sempat sedikit keceplosan bercerita soal Joeang kepada Tante Mel. Tapi itu semua nggak membuktikan apapun soal asumsi dia. Masa aku nggak mengerti perasaanku sendiri?! I know exactly how I feel and it’s absolutely NOT love.

Supaya kalian nggak ikut salah paham, aku jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi dan siapa itu Joeang. Dulu waktu kelas dua SMA, aku sempat sekelas dengan Joeang Samoedra, siswa pindahan asal Bandung yang punya ciri-ciri fisik: tinggi, putih, rambut agak ikal, alis tebal, dan mata yang tajam. Dia punya daya tarik yang lumayan. Yah, kira-kira 7 dari 10 perempuan akan mengakui dia menarik, setidaknya berdasarkan survey di antara siswi angkatanku dulu. Aku termasuk di antara yang tujuh, tapi bukan berdasarkan faktor fisik. Pertama, kami sama-sama pendatang dari Bandung, jadi keberadaannya entah mengapa membuatku merasa bernostalgia. Kedua, namanya yang menggunakan ejaan lama menurutku otentik. Jarang sekali aku menemukan teman seusiaku masih menggunakannya. Ayah kandungku yang pakai ejaan lama “Tjokroatmodjo” saja sudah termasuk langka. Terakhir, sosoknya yang nggak banyak bicara terkesan misterius, apalagi gayanya juga nyentrik.

Aku jadi teringat, dulu kami pernah nggak sengaja berpapasan saat aku sedang berburu buku bekas di salah satu toko di Taman Ismail Marzuki. Awalnya aku nggak sadar karena gaya berpakaiannya yang cukup unik untuk anak usia SMA. Dari ujung kepala sampai kaki aku seperti melihat sosok John Lennon versi ABG[1], lengkap dengan sepatu pantofel putih dan kaca mata bulat. Mungkin kalau sekolah memperbolehkan, dia akan menggondrongkan rambutnya supaya makin mirip. Dia tersenyum tanggung ke arahku, mungkin karena ragu atau terkejut bertemu teman sekelas dengan pakaian seperti itu, aku nggak tahu pasti alasannya apa. Setelah aku perhatikan lamat-lamat, baru sadar aku kalau laki-laki di hadapanku adalah....

“Joeang???” aku terbelalak, antara kaget dan terkesima dengan penampilannya.

Dia nyengir, mengangguk sambil menggaruk rambut yang aku yakin sebenarnya nggak gatal.

Seketika aku seakan masuk ke dalam adengan film tahun 70an: aku dan dia dengan gaya nyentriknya berdiri berhadapan di toko buku lawas.

“Lo suka The Beatles?”

Entah kenapa, pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja dari mulutku.

“Lumayan,” jawab dia pendek, sambil mengangkat bahu.

Aku manggut-manggut.

“Kalo lo?”

“Cuma tau beberapa lagu,” aku mengangkat bahu (juga).

Lalu percakapan pun selesai. Di kelas kami memang nggak terlalu akrab. Aku bahkan belum pernah ngobrol berdua dengan dia. Suasana pun menjadi semakin canggung karena dia hanya diam sambil memandangi buku yang aku pegang, Gadis Pantai karangan Pram. Sudah aku bilang sebelumnya, membuka pembicaraan bukanlah keahlianku, dan sepertinya dia juga sama. Jadi, aku putuskan untuk keluar dari adegan ini.

“Hm, gue duluan ya.”

Aku menunjuk ke arah kasir, memberi tanda bahwa aku akan membayar lalu pergi.

“Oke.”

Bubar jalan.

Seminggu setelah itu, pagi-pagi aku menemukan bungkusan kertas di laci mejaku. Isinya membuatku terkejut: kaset album Meet The Beatles!

Punya siapa?

Aku sempat melihat ke sekeliling kelas, siapa tahu ada orang yang sedang mencari-cari barang, tetapi semua teman sekelasku terlihat sedang santai-santai saja. Aku kembali menatap lamat-lamat kaset yang terlihat tua itu, ternyata ada secarik kertas tertempel di belakangnya.

“Coolest track: A2. What’s yours?”

Kepalaku berputar, berpikir keras siapa kira-kira yang iseng menaruh kaset The Beatles dengan catatan seperti ini. Aku merasa nggak pernah membahas tentang band ini dengan siapapun di sekolah, termasuk Ratu. Tiba-tiba Joeang lewat di hadapanku, melirik sebentar bungkusan yang sedang aku pegang, lalu melengos menuju bangkunya di sudut belakang kelas. Mejaku berada persis di samping pintu sehingga mau nggak mau setiap orang yang masuk harus melewatiku, itu sudah biasa. Tapi tatapan dia walaupun sebentar jelas punya maksud tertentu.

Seketika aku tersentak.

Ah, John Lennon!

Aku langsung menoleh ke arah Joeang yang sedang tertidur, menjadikan tas sebagai bantal.

Seharusnya aku menghampiri dia, bertanya apakah benar dugaanku bahwa dialah yang menaruh kaset itu. Tapi nyaliku ciut. Aku nggak pernah bicara dengan Joeang di kelas, apa kata teman sekelas kalau tahu-tahu aku ngobrol berduaan. Ugh, memikirkannya saja membuat bulu kudukku merinding.

“Sejak kapan lo suka The Beatles?”

Sekonyong-konyong Ratu sudah duduk di sampingku, menatap curiga kaset yang aku pegang. Aku segera menyembunyikan kertas catatan Joeang ke laci meja. Jangan sampai mulut ember Ratu bikin gue kena gosip selama satu semester!

“Lo tahu The Beatles?” aku mengalihkan pembicaraan.

“Nggak terlalu sih. Waktu liburan ke Inggris tahun lalu, gue sempet nemenin bokap ke The Beatles Story di Liverpool.”

Of course... Aku mencibir.

“Iya, Ratu. Hamba rakyat jelata cukup liburan ke Dufan udah bahagia.”

“Bukan gitu, kalo tau lo suka kan bisa gue beliin oleh-oleh.”

“Kan udah. Gantungan kunci London.”

Aku pura-pura memainkan gantungan kunci oleh-oleh Ratu yang sekarang—atas paksaan Ratu—terpasang di ritsleting tempat pensilku.

Ratu hanya mengacungkan jempol.

Lihat selengkapnya