Roda sepeda berputar kencang. Angin menerpa wajahku tapi nggak seperti biasanya, terasa lebih bersahabat di kulit. Aku putuskan untuk membuka ritsleting jaket tebalku. Kausku sedikit basah oleh keringat.
“Hai, Rana,” sapa Tante Mel saat aku sampai rumah. Aku lihat dia sedang berbaring di kursi kasur taman dengan bikini.
Aku pun termangu.
“Sini ikut. Sun bathing.”
Jadi begitu. Bukan aku saja yang merasa udara mulai menghangat. Sinar matahari perlahan terasa terik. Sepertinya, aku bisa mengucapakan selamat tinggal musim dingin!
“Bikin rujak lagi dong, Rana. Sambel buatan kamu mantap banget,” pinta Tante Mel dengan senyum merayu. Kemarin aku membuat bumbu rujak dengan potongan buah apel.
Tante Mel rajin menyetok bahan lokal, seperti gula merah, cabe hijau, dan asam jawa. Beras juga mie instan pun selalu tersedia. Memang harga di toko Asia jauh lebih mahal. Namun, stok ini manjur sebagai pengobat rindu.
Aku segera meluncur ke dapur, menyiapkan bahan-bahan, lalu menguleknya di cobek batu. Sumpah aku sempat kaget. Tante Mel sengaja membawa cobek batu yang super berat saat pulang ke Indonesia, sampai sempat ditanya-tanya pihak imigrasi.
“Tante Mau minta maaf,” ucapnya sambil mencolek apel ke bumbu merah kecoklatan dalam cobek.
“Soal apa, Te?” aku nggak mengerti arah pembicaraan ini.
Seketika raut wajah Tante Mel berubah serius. Sepertinya rujak ini sengaja digunakannya untuk mencairkan suasana. Berharap pembicaraan berat yang akan diutarakannya menjadi sedikit lebih santai.
“Minggu lalu,” Tante mengunyah apel dengan cepat lalu melanjutkan, “Kamu sampai harus ngeliat kami seperti itu,” kali ini ekspresi Tante terlihat sedikit malu.
“Oh,” aku nggak tahu harus merespon apa. Sebenarnya aku nggak keberatan. Namun rasanya salah juga kalau aku menjawab “nggak apa-apa” dalam situasi semacam itu.
“Tante sudah bicara sama anak-anak. Tapi Tante pikir kamu juga harus tahu duduk perkaranya. Bagi Tante, kamu bagian dari keluarga.”
“Makasi,” jawabku penuh haru. Tentu aku senang dianggap seperti itu. Jauh dari keluarga kandung kadang membuatku kesepian.
Aku menatap ke atas. Langit biru bersih. Pesawat terbang melintas meninggalkan jejak lukisan kuas putih yang segera menghilang. Pikiranku menerawang, teringat kejadian menyesakkan malam itu. Saat aku harus menyaksikan satu keluarga lain retak oleh waktu.
Sebelum kejadian, seperti biasa aku tidur sekitar pukul sebelas malam. Mataku terpejam, dan jiwaku sudah total masuk ke alam bawah sadar. Saat drama mimpi memasuki puncak, tiba-tiba entah dari mana aku seperti melihat Mama sedang menggedor pintu kaca. Air matanya berlinang. Suaranya seperti meraung.
“Ranaa....”
Terperajat aku. Mataku seketika awas. Ternyata suara itu bukan mimpi. Seseorang mengetuk pintu kaca kamarku. Keras sekali.
Segera aku bangkit. Tirai kain aku empaskan dengan terburu-buru.
Aku terbelalak. Tante Mel, dengan baju tidurnya ada di luar!
“Buka pintuuuu, Rana....,” Tante Mel sesegukan.
Aku belum tahu apa yang terjadi, tapi tanpa banyak bicara aku terbirit-birit menuju pintu depan. Sekilas aku melihat Pieter duduk termenung di sofa TV. Liam menangis terisak, menatapku seakan meminta pertolongan.
“Tante nggak apa-apa?” aku segera memeluk tubuh Tante Mel yang gemetaran. Entah karena dinginnya malam atau rasa takut.
Aku menuntun Tante Mel perlahan kembali ke kehangatan. Liam berhamburan ke arahku, memeluk pinggang. Kami bertiga saling topang, atau sebenarnya aku yang menahan tubuh dua orang ini tetap berdiri tegak.
Sejurus kemudian Tante Mel menatap nanar ke arah Pieter, lalu dia berteriak dalam bahasa Belanda. Kemampuan bahasaku memang masih minim, tetapi aku paham Tante Mel sedang meluapkan kemarahannya. Telunjuknya menunjuk-nujuk wajah Pieter yang diam seribu bahasa. Aku melihat tangan lelaki kekar itu mengepal, seperti menahan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak.
“Papi...niet...doen![1]” kata Liam di antara segukannya. Mungkin dia juga menyangka Pieter akan meledak lagi.
Mendengar keributan itu, Marieke turun dari kamarnya. Diam-diam dia mengintip dari balik pintu. Aku yang pertama menyadari kehadariannya segera menarik dia ke dalam lingkaran pelukan kami.
“They better sleep in my room tonight,” ucapku datar kepada Pieter.
Otot wajah Pieter mengendur. Tatapan matanya melunak. Lalu dia mengangguk. Ketika kami bertemu pandang, baru aku sadari dalam cahaya yang minim ini, bahwa mata Pieter pun berkaca-kaca.
“Liam, Marieke sayang, kalian tidurlah bersama Rana malam ini,” kata Pieter dalam bahasa Belanda.
Di dalam kamar, aku biarkan anak-anak mengobrol dengan Tante Mel. Sedikit banyak aku paham. Marieke bertanya apa yang terjadi, lalu Tante Mel minta maaf dan menjelaskan sesederhana mungkin. Dengan kalimat yang mudah dipahami anak seusianya.
Besok hari Sabtu sehingga Liam berniat tidur di tenda buatan di ruang tengah. Mau tak mau dia pun menyaksikan runutan kejadian malam itu. Dia kecewa.
“Itu perbuatan yang nggak benar,” ucap Liam dengan hidung meler. Bahkan anak sekecil itu sudah mengerti hitam dan putih.
Tante Mel mengusap rambut ikal Liam, lalu mengecup keningnya. Dia berkata semua akan baik-baik saja. Papi hanya emosional, kata Tante Mel. Setelah dia tenang, mereka akan bicara dengan lebih baik.
Dulu sekali, aku juga pernah menonton drama pertengkaran orangtuaku, hampir setiap hari. Namun pada suatu malam, ada yang berbeda. Papa Tjokro nggak menutup pertengkaran dengan kata maaf, seperti biasanya. Mama juga terus berteriak dan menolak mendekat. Selanjutnya, seperti yang sudah pernah aku ceritakan.
Mama berkemas, lalu menggendongku. Kami pun melaju dalam bus kota, ditemani cahaya bulan dan lampu jalan. Kota Bandung mulai sepi. Penduduknya sebagian sudah bergumul dengan selimut. Para ayah menceritakan dongeng sebelum tidur, ibu-ibu menimang anak mereka hingga tertidur. Tapi bukan aku.
“Tante kaget sekali. Belum pernah Pieter semarah itu,” ucap Tante Mel. Tatapannya nggak lepas dari anak-anak yang baru saja terlelap. Mereka berdesakan di lantai kamarku, beralas karpet dan bed cover seadanya.
Kasurku terlalu kecil untuk tiga orang, meskipun aku tetap menawarkan. Mereka memilih tidur berdampingan, saling menghangatkan dengan tubuh.
Aku menjawab dengan diam. Membiarkan Tante Mel bermonolog, menumpahkan semua isi hatinya.
“Tante ketiduran di sofa, trus Pieter tiba-tiba bangunin Tante. Bilang mau menyelesaikan masalah rumah tangga kami, saat itu juga,” air mata yang tadi mengering sekarang basah lagi. Sepertinya Tante Mel sangat syok dengan kejadian tadi.
“Ngantuk. Tante jawab, besok aja...” Tante Mel menghapus air mata yang menetes di pipi lalu melanjutkan, “Tau-tau dia gendong Tante. Badan Tante dilempar keluar rumah. Langsung ke jalan! Coba bayangkan Rana, dilempar kayak anjing!”
Mataku melotot. Aku nggak pernah bisa membayangkan, Pieter yang pendiam, Pieter yang lembut mampu melakukan hal itu.
“Tante juga nggak nyangka. Untung ada kamu,” ucap Tante Mel seperti membaca pikiranku.
“Ada yang sakit nggak, Te?” tanyaku sambil memeriksa badan Tante Mel dengan mataku.
“Pergelangan tangan sama pinggul, karena nahan berat badan pas jatoh.”
Aku ingin memastikan. Namun Tante Mel menggeleng, dia nggak mau bergerak sejengkal pun dari rangkulan hangat Liam dan Marieke. Lama lalu, kami tidur. Antara sadar dan nggak sadar, aku seperti mendengar rintihan seorang wanita.
Sayup-sayup suara pesawat yang melintas membangunkanku dari lamunan yang pahit itu. Aku lihat, potongan apel sudah berkurang hampir setengahnya. Tante Mel minum dengan rakus karena kepedasan. Padahal, tadi aku hanya menggunakan dua potong cabe hijau. Tinggal di Belanda bertahun-tahun telah menguras daya tahan lidahnya terhadap makanan pedas.
“Jadi, apa kata Pieter?” tanyaku setelah Tante Mel menghabiskan dua gelas air sekaligus.
“Dia bilang mau mulai dari awal asalkan Tante putus dengan Max. Kalau nggak, ya pilihannya... cerai,” kata terakhir itu dengan berat dia ucapkan. Ya, nggak ada orang normal yang menginginkan perceraian. Termasuk Tante Mel, meskipun aku mulai berpikir kehidupan dia agak nggak normal.
“Tante mau putus?”
“Sudah kadung. Tante nggak mungkin kembali,” jawab Tante seakan meratapi masa lalu.
“Max nggak mau putus?” tanyaku menyelidik.
Tante Mel tersenyum.
“Pernah putus, dan nggak berhasil,” jawab dia kemudian.
Tante Mel mulai menceritakan pertemuan pertamanya dengan Max, lelaki yang telah merebut hatinya. Mereka sempat bekerja di kantor yang sama, beda divisi saja. Max yang lebih muda dua tahun dari Tante Mel sempat merayunya. Kata dia, Tante Mel adalah tipe ideal yang selama ini ditunggu-tunggu Max. Tentu saja, kata Tante Mel, itu rayuan gombal. Saat itu Max memang belum tahu kalau Tante Mel sudah menikah.
“Awalnya Tante nggak suka sama dia. Playboy! Bukan tipe Tante pokoknya,” ucap Tante Mel mengenang.
Setelah Max tahu soal status Tante Mel, dia pun mundur perlahan. Dari situ mereka hanya berhubungan sebatas rekan kerja. Satu kali pernah mereka masuk dalam tim yang sama untuk mengerjakan proyek penting lintas divisi. Intensitas pertemuan mereka meningkat. Tante Mel pun merasa mulai nyaman bicara dengan Max yang supel.
Sejak berteman dengan Max, Tante Mel punya banyak teman. Koneksi Max cukup luas, dan dia terkenal ramah dan baik sehingga disukai banyak orang. Sampai sekarang, dia masih akrab dengan kawan masa sekolah. Tanpa sungkan, Max memperkenalkan Tante Mel ke dalam lingkungannya. Sebagai teman, awalnya.
Mereka jadi sering keluar bareng untuk sekadar makan atau minum santai, namun belum pernah berduaan saja. Max tahu diri. Dia nggak mau berurusan dengan istri orang. Dia masih single dan menurut Tante Mel, nggak berniat menikah sama sekali. Jadi, berhubungan dengan Tante Mel bukan opsi terbaik dalam hidupnya, saat itu.
“Sebelumnya Tante hanya bisa melihat Pieter seorang. Romantis kan?” ucap Tante Mel sambil tersenyum jahil.
“Mirip sama kamu dan Joeang,” lanjut dia.
Aduh. Kenapa pula aku mesti dibawa-bawa.