DANTE

Dewanto Amin Sadono
Chapter #2

Bagian 2

Sebagai Napi yang lebih senior, tugas saya adalah memberitahu hal-hal yang perlu segera diketahui oleh Dante. Informasi yang saya berikan kepada Dante sebagian bersifat hiburan. Namun, ada juga yang berkaitan dengan keselamatan Dante sendiri. Walaupun Dante bukan tipe orang yang suka pecicilan dan berlagak sok akrab dengan siapa pun, bersikap hati-hati tetaplah perlu. Di dalam penjara, menginjak kaki secara tidak sengaja pun bisa menimbulkan persoalan besar yang bisa berujung dengan kematian.

Tema ceramah pertama saya kepada Dante tak jauh-jauh dari perihal uang. Walaupun saya bukan guru ekonomi, saya segera menjejali Dante dengan pengetahuan tentang fungsi uang di dalam penjara. Sebenarnya, fungsinya sama saja dengan yang di luar penjara; Namun, di dalam penjara fungsinya lebih spesifik.

Uang adalah raja; bisa membeli harga diri, membayar empati, dan melunasi tanggung jawab. Di sini sebutannya pelor. Jika ingin hidup nyaman di dalam penjara, seorang Napi harus sering-sering mengokang sakunya lalu menembakkan pelornya. Kalau tidak punya uang, silakan jadi penonton; duduk di pojokan sambil menggigit jari.

 “Kita bisa memanggil tukang pijat, memelihara korve untuk mencuci pakaian, menyuruh tamping untuk membelikan sesuatu saat sel sudah ditutup. Jika tidak doyan makanan penjara yang rasanya seperti muntahan kucing, kita bisa beli nasi uduk, nasi kuning, mi, ketoprak. Masing-masing harganya sepuluh ribu. Minumnya kopi atau susu ….”

“Belinya di mana?” Dante mengerutkan kening.

“Tuh! Di situ!” Saya menunjuk blok sebelah. “Blok teroris!”

Pimpinan blok teroris namanya Bisri. Orangnya berjenggot dan bercelana cingkrang. Sangat karismatik. Para pembunuh dan perampok pun segan terhadapnya. Bisri dan kelompoknya mengelola warung kecil yang isinya lumayan lengkap. Selain menyediakan makanan, warung itu juga menjual berbagai keperluan sehari-hari: sabun, sampo, gula, dan sebagainya. 

“Pihak penjara membiarkannya?”

Saya mengangkat bahu lalu menjawab sekenanya. “Bisa jadi takut. Atau bagian dari strategi pihak lapas agar mereka tidak bikin ribut.”

Saya juga menunjukkan kepada Dante letak sel tipe 3 yang suka membuat iri para Napi. Sesuai tipenya, sel itu hanya diisi oleh tiga orang. Penghuninya para koruptor. Juga para selebritis yang terlibat kasus kriminal. Fasilitas di dalamnya semewah hotel bintang dua.

“Berapa uang yang harus mereka keluarkan agar bisa ditempatkan di situ?”

Lagi-lagi saya hanya bisa mengangkat bahu. Saya tidak tahu. Tapi yang pasti, tidak murah. Prosedurnya juga tidak mudah kecuali mau keluar banyak rupiah.

“Kalau ada yang menengok, suruh bawa lembaran uang lima ribuan! Sebanyak-banyaknya! Lebih praktis dibanding lembaran lima puluh ribuan atau ratusan ribu. Nilainya pas untuk banyak keperluan!”

Dante mengangguk-angguk. Beberapa hari kemudian, ketika kakak, pacar, dan teman Dante yang pialang itu menengok Dante, mereka membawakan Dante beberapa gepok lembaran lima ribuan. Bahkan, nanti pada saat kunjungan kedua, Pak Sarno membawa truk boks. Isinya rokok; ratusan slop rokok berbagai merek. Hari itu, meskipun hari raya masih lama, penghuni Lapas Cipinang berpesta pora. Dante membagikan rokok itu kepada siapa saja yang merokok; termasuk para sipir, dan hanya menyisihkan sebagian untuk dirinya sendiri.

Sebutan kami kepada penguasa bantal adalah bantaler. Biasanya jabatan itu disandang oleh Napi yang dihukum seumur hidup dan punya akses untuk mengetahui kapan seorang Napi bebas dari penjara. Begitu ada Napi yang pergi, sang bantaler segera mengambil bantal yang ditinggalkannya, lalu menyimpannya di dalam gudang. 

Ketika ada Napi yang butuh bantal, dia harus menemui sang bantaler untuk menyewa. Atau menyuruh tamping sel; tahanan pendamping; untuk mengambilkan. Uang sewa bantal tergantung lama-sebentarnya masa hukuman si penyewa. Upah buat tamping yang mengambilkan bantal, 5 ribu rupiah. Dan para penyewa tidak boleh protes jika bantal yang mereka terima nanti ternyata tidak sesuai ekspektasi; kotor, bau, dan dipenuhi tumbila alias kepinding alias kutu busuk.

“Kamu bakal segera tahu.” Saya tersenyum masam. “Para Napi di sini sangat pandai mengubah banyak hal menjadi hiburan. Jika di luar sana ada balap mobil, balap kuda, balap sapi, di sini ada balap tumbila.”

Usai mengoperasi bantal dan menemukan puluhan atau bahkan ratusan tumbila di lipatan-lipatan bantal, para pecinta balapan liar itu lalu memilih tumbila yang mereka anggap larinya paling kenceng. Biasanya mereka memilih yang besar, tapi ramping. Sisa tumbila dibunuh dengan cara yang sangat sadis sekaligus lucu; mengencetnya dengan jari lalu dengan gobloknya mendekatkan ke hidung untuk merasakan sensasi baunya yang sangat busuk.

Lihat selengkapnya