DANTE

Dewanto Amin Sadono
Chapter #3

Bagian 3

Tiga tahun lalu, pada hari Sabtu, bulan Maret tahun 2009, sekitar pukul 14.00 saat sinar matahari menjilat umbun-umbun warga Jakarta, menerobos tulang tengkorak, mendidihkan isinya, sebuah mobil warna kuning berhenti di lampu merah di sebuah perempatan di kawasan Ancol. Di samping kanan mobil yang masih baru itu berhenti truk sampah yang baunya mirip comberan. Di depannya sedan keluaran tahun baheula yang sejak tadi pengemudinya ribut memencet-mencet klakson, sedang di belakangnya mobil boks bercat putih dan sopirnya tampak mengantuk.

 Tiba-tiba sebuah sepeda motor dari jenis yang biasa dipakai para penjambret saat menjambret merapat di sisi kiri mobil yang mereknya sangat terkenal itu. Pengendaranya dua orang berjaket kulit warna hitam. Tubuh mereka kekar. Keduanya memakai helm pembalap; bagian wajah tertutup rapat.

 Dengan tenang dan tanpa ekspresi si pembonceng motor mengeluarkan senjata laras pendek dari balik jaketnya. Tangannya sama sekali tidak terlihat gemetar. Dalam hitungan detik, pelatuk senjata ditariknya.

 Dor! Dor!

Peluru melesat, menembus kaca, menerjang semua yang menghalangi gerak lajunya. Tanpa perlu memastikan hasil tembakannya kena atau tidak, si pengendara motor segera memacu sepeda motornya kencang-kencang; menarik gas hingga hampir mentok, lalu hilang ditelan hiruk pikuk lalu lintas kota Jakarta.

Sopir mobil SUV berteriak-teriak; buru-buru keluar dari dalam mobil. Beberapa orang yang sedang berada di tempat itu mendekat. Namun, mereka bingung; tak tahu harus melakukan apa kecuali hanya menonton. Di atas jok mobil di samping kursi sopir, seorang laki-laki setengah baya terkapar bersimbah darah. Lehernya terkulai. Peluru menghunjam pelipis sebelah kiri. 

Setelah mendapat laporan entah dari siapa, para polisi berdatangan. Mereka mengendarai mobil dinas. Ada yang berseragam; ada pula yang berpakaian preman. Dengan sigap mereka memeriksa Tempat Kejadian Perkara, memotret korban dari berbagai sisi, menanyai para saksi, mengatur lalu lintas yang tiba-tiba macet, dan mengusir para penonton yang berkerumun di tempat itu. 

Setengah jam kemudian mobil ambulans didatangkan. Sirinenya ribut, menjerit-jerit minta perhatian seluruh pengguna jalan. Korban yang masih bernapas, tapi tak sadarkan diri itu buru-buru dilarikan ke rumah sakit terdekat. Akibat pendarahan hebat di dalam kepala, dokter memutuskan menunda operasi pengambilan peluru sampai pendarahan berhenti, dan akibatnya sangat fatal. Tanpa pernah sempat siuman, pengusaha muda itu mengembuskan napas terakhir di pagi buta.

“Berita itu bisa dibaca di media cetak dan online!”        

Dante mengisap rokoknya kuat-kuat lalu mengembuskannya kencang-kencang. Tatapan matanya menghunjam langit tinggi; melampaui kepala para Napi yang sedang main bola, melompati menara penjaga dan sipir bersenjata di dalamnya; seakan-akan ingin menjangkau semua yang bisa dijangkaunya; masa lalu, masa kini, dan masa nanti.

Saya memang pernah mendengar peristiwa yang sangat menghebohkan itu. Tapi hanya sepotong-potong. Serba tak jelas dan simpang siur. Berita dari luar penjara adalah barang langka bagi para penghuni penjara. Tak ada yang boleh membawa hape. Seminggu sekali diadakan razia hape ke dalam sel-sel. Kasur dan tikar disingkapkan, tas digeledah, saku baju dan celana diperiksa. Kalau sampai ketahuan ada yang membawa hape, pemiliknya dihukum sementara hapenya disita. Meskipun demikian, perampasan hape jarang sekali terjadi di sini. Satu jam sebelum pelaksanaan razia seringnya kami sudah menerima bocoran lebih dahulu. Kami lalu buru-buru menyembunyikan semua barang larangan ke tempat yang paling aman di dalam penjara dan silakan tebak sendiri di mana letaknya.

Televisi hanya bisa ditonton pada jam-jam tertentu. Itu pun sering kali sudah diklaim oleh omen, sebutan untuk penguasa blok. Namanya Kasdut. Tato memenuhi sekujur tubuhnya, dan boleh percaya boleh tidak, perampok yang tak segan-segan membunuh para korbannya itu kesukaannya menonton sinetron yang mengharu biru dan menguras air mata.

Dante menggusap-usap rambut seakan-akan sedang mengumpulkan ingatan yang tidak ingin diingatnya, menyatukan serpihan-serpihan kenangan yang ingin dibuang dan dihapusnya. Namun, sepertinya tak semudah itu dilakukannya.

Pada siang yang panas itu tiga mobil polisi memasuki halaman sebuah hotel bintang lima di kawasan Menteng. Sembilan penumpangnya turun. Ada yang berseragam; ada juga yang berpakaian preman. Mereka ke hotel bukan untuk melakukan pengamanan ataupun menginap, melainkan untuk menemui Pak Nurdin, Kepada Departemen Pengawasan Keuangan PT Nusa Nesa, sebuah perusahaan yang omsetnya mencapai ratusan triliun setiap tahunnya

Tatapan mata Dante tampak menerawang. “Aku tidak akan pernah bisa melupakan pemandangan yang sangat mengenaskan itu! Seumur hidupku!”

Saat itu Pak Nurdin sedang menebarkan senyum sambil menyalami para tamu undangan yang datang untuk menghadiri undangan resepsi pernikahan Yohana, anak perempuannya. Pak Nurdin sangat kaget dan marah ketika tiba-tiba melihat beberapa orang yang tidak dikenalnya nyelonong begitu saja ke atas pelaminan. 

“Ada apa ini? Siapa kalian?”

Seorang petugas bertopi yang sepertinya berpangkat cukup tinggi memberi hormat kepada Pak Nurdin. Sikapnya sangat tenang. Sementara itu, dua orang lainnya berdiri di belakang si petugas bertopi dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Sepertinya mereka sedang berjaga-jaga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka bersenjata.

“Selamat siang, Pak! Kami dari Kepolisian Resor Jakarta Utara datang untuk menyerahkan surat perintah penangkapan!”

“Surat penangkapan?” Pak Nurdin mengernyitkan dahi. Lembaran kertas yang disodorkan kepadanya itu disambarnya, dan lima detik kemudian laki-laki bersetelan jas itu pun murka. “Apa-apaan ini! Jelas ngawur! Tidak mungkin! Kalian pasti salah orang!”

“Maaf, Pak! Kami hanya menjalankan tugas negara!”

Lihat selengkapnya