DANTE

Dewanto Amin Sadono
Chapter #5

Bagian 5

Kusni menutup telepon, lalu nyengir kuda. “Yang penting mati” adalah permintaan yang terlalu sederhana untuknya. Permintaan itu hanya pantas ditujukan kepada para amatir yang gemetaran saat melihat darah dan keluar keringat dingin waktu berpapasan dengan polisi. Bahkan, bisa dibilang permintaan yang sangat mudah itu telah melecehkan kemampuannya sebagai pembunuh bayaran dengan jam terbang lebih dari tiga tahun.

Kusni bisa mengabulkan apa saja yang diminta oleh para pemakai jasanya; korbannya mati dilindas kereta api hingga ususnya terburai, kena ledakan tabung gas hingga tubuhnya hancur berkeping-keping, atau jatuh dari lantai tujuh dan mengaturnya seolah-olah bunuh diri. Sayangnya, kesempatan itu disia-siakan oleh si pengorder yang satu itu. Di negeri ini, jika ada pejabat atau orang kaya yang tiba-tiba mati dengan cara yang begitu mengerikan, bisa jadi itu hasil karyanya.

Sebelum terjun ke bisnis kelam yang entah akan dijalaninya sampai kapan ini, Kusni belajar membunuh dari para pembunuh. Gunung Halimon Pidie, Aceh adalah tempat pelatihannya. Selalu ada yang pertama, dan memang meresahkan dan tak gampang dilupakan; termasuk membunuh anak manusia.

Korban pertama Kusni adalah remaja yang hendak menikamnya dengan rencong pada sebuah penyergapan di rumah yang kabarnya dihuni oleh keluarga simpatisan pejuang Aceh. Kusni menembak membabi buta; beberapa peluru sekaligus menembus tubuh remaja yang mungkin belum sempat merayakan ulang tahunnya yang ke-17 itu.

Dua hari Kusni tak enak makan; tak nyenyak tidur. Erangan menjelang ajal menjemput itu terus terngiang-ngiang di telinganya; mengendap di sana dan tak mau pergi. Trauma itu baru hilang ketika seminggu kemudian teman Kusni satu angkatan; satu kamar saat di asrama, kepalanya bolong ditembak sniper saat sedang mengadakan patroli. Namanya Slamet, dan sungguh ironis; Slamet tidak selamat pada penugasan pertamanya sebagai prajurit.

Dari situ Kusni mulai menyadari, dia tidak sedang menikmati keindahan alam Gunung Halimon yang luar biasa. Namun, berada di sebuah tempat yang dipenuhi oleh orang-orang yang sangat membenci para pemakai seragam loreng akibat kebijaksanaan para birokrat yang tidak bijaksana pada masa lalu.

Seperti halnya Belanda harus bersusah payah ketika berusaha memadamkan perlawanan Cut Nyak Dien, Jakarta pun tak semudah itu saat coba menjinakkan orang-orang Aceh. Puluhan ribu prajurit telah dikerahkan, jutaan amunisi dihamburkan; ribuan orang sudah meregang nyawa, puluhan pesawat tempur pernah diterbangkan lalu mengebom wilayah-wilayah yang diduga sebagai basis para pejuang Aceh.

Namun, semua itu belum memberikan hasil seperti yang diharapkan para pembuat kebijaksanaan di Jakarta. Bukannya gentar dan gemetar lalu mengibarkan bendera putih, para pejuang Aceh justru pilih meneruskan perjuangan. Mereka bergerilnya dari hutan ke hutan; dari gunung ke gunung. Bahkan, jumlah warga Aceh yang ikut bergabung dengan para pejuang kemerdekaan Aceh semakin hari justru bertambah banyak; mencapai puluhan ribu.

Setelah pertikaian berlangsung cukup lama, usai banyak perempuan yang menjadi janda,  sehabis anak yang menjadi yatim jumlahnya hampir tak terhingga, akhirnya perang saudara itu pun mereda, yaitu setelah tsunami menerjang sebagian wilayah Aceh; menghancurleburkan semuanya; membunuh ratusan ribu jiwa, dan baru benar-benar terhenti setelah diadakan Kesepakatan Helsinki. Tidak ada pihak yang menang; kecuali keduanya sama-sama merugi dan terluka jiwa mereka.

Selama penugasan di Aceh, Kusni pernah dikepung dan mengepung; ditembak dan menembak, membunuh dan membunuh, dan untungnya saat Kusni ditarik kembali ke markas, nyawanya masih utuh.

“Bangsat! Apa-apaan ini!”

Surat perintah bertugas ke Papua itu diterima Kusni tepat sebulan setelah dia pulang dari Aceh, dan ditolaknya. Kusni sudah muak dengan penugasan yang menurutnya tak jelas tujuannya. Ia tidak mau jadi kroco yang diam saja saat dijadikan pion oleh para perwira demi mendapatkan tempat yang lebih aman; lebih nyaman. Kusni memutuskan disersi dan segera diuber-uber seperti maling ayam. Kusni pindah dari satu tempat ke tempat lain dan tidak pernah pulang ke rumahnya di Boyolali yang kemungkinan besar sudah diintai oleh intel atau provos.

Semua hal yang djalani tanpa mendapatkan restu dari orang tua ternyata memang fatal akibatnya. Itu juga yang dialami Kusni. Jika petani lain bangga anaknya menjadi tentara, tidak demikian halnya dengan Jiyo, bapaknya Kusni. Sejak semula lelaki sederhana yang hanya tahu sawah, cangkul, lumpur, singkong, padi, dan gabah itu tak pernah merestui Kusni menjadi tentara, dan alasannya ternyata tidak sesederhana pakaian yang sehari-hari dikenakannya.

Pada zaman Gestok, dua kakak kandung Jiyo dan empat pamannya ikut menjadi korban pembantaian gara-gara pernah menonton pertunjukan wayang kulit yang diadakan oleh partai merah. Malam-malam mereka diambil dari rumah masing-masing; diangkut dengan truk sampah, disatukan dengan puluhan orang yang sudah lebih dulu berjejal-jejal di bak truk. Orang-orang berwajah pucat pasi dan bingung itu lalu dibawa ke tepi hutan jati berjarak satu jam dari desa. Mereka disuruh menggali tanah dengan ukuran yang sudah ditentukan. Setelah galian mencapai kedalaman satu meter, mereka disuruh berdiri di tepi lubang, lalu ditembak kepalanya dari belakang dan dikuburkan di lubang yang tadi mereka gali.

Kusni merasa tidak tentram tinggal di Jawa. Hatinya berdebar-debar tiap kali bertemu orang yang tidak dikenalnya, mengira intel yang akan menangkapnya. Kusni lalu memutuskan menyeberangi Selat Sunda dengan menumpang kapal pengangkut kayu. Kusni ingin pergi sejauh yang bisa dia lakukan. Kalau mungkin ke Bulan. Jadi buronan sama sekali tak ada enaknya. Hidupnya tidak tenang.

Selama di Mesuji, Lampung, Kusni terus berpindah-pindah hingga terdampar di rumah seorang kepala desa yang memiliki kebun singkong yang sangat luas. Tak ingin terus menjalani hidup seperti seekor tupai yang melompat ke sana kemari dan besar kemungkinan suatu ketika bakal jatuh juga, Kusni memacari anak tuannya lalu mengawininya. Susah payah Kusni belajar mencintai janda tanpa anak itu, tapi gagal. Kusni tak tahu persis penyebabnya. Barangkali sudah menjadi semacam kutukan: semua pelarian bakal menemui kegagalan. Utamanya sebuah perkawinan.

Kusni dan perempuan hitam manis yang belum sempat memberinya keturunan itu belum bercerai, tapi mereka juga tak benar-benar pernah bersatu kecuali sekadar saling menyalurkan nafsu pada malam-malam yang sepi dan dingin.

Kusni berkeliaran ke mana-mana; berteman dengan banyak orang; mencoba banyak pekerjaan dan tidak setiap hari pulang. Meskipun begitu, jika punya uang Kusni selalu mengirimkan uang kepada perempuan bertubuh mungil yang sepertinya sangat mencintainya itu. Bahkan, untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu, nomor rekening Kusni atas nama istrinya, perempuan yang barangkali belum pernah menginjakkan kakinya di lantai kantor bank.

Hingga suatu ketika, Kusni menguping pembicaraan yang berlangsung di sebuah bar di Batam. Dua laki-laki setengah mabuk bermata sipit sedang duduk-duduk tak jauh dari Kusni. Empat botol bir dan dua botol vodka berjajar di atas meja. Asap rokok beterbangan; berpendar-pendar ditimpa cahaya remang. Mereka berbicara cukup keras hingga bisa didengar oleh para pengunjung bar yang lain; barangkali dianggap budeg.

“Kita butuh anggota baru. Orderan makin banyak!”

“Kalau ada yang pernah memegang senjata.”

“Bagaimana kalau kita pasang iklan di media?”

Ngawur! Apa yang akan dituliskan? Dicari orang yang biasa memegang senjata untuk melakukan pekerjaan kotor dan berdarah. Gitu?”

“Sttt!”

Pada saat yang lain menganggap pembicaraan tersebut hanya bualan antardua orang pemabuk, Kusni tidak menganggapnya seperti itu. Ia terus menguping dan menguping, lalu membuntuti saat mereka meninggalkan bar. Ketika keduanya hendak memasuki mobil, Kusni mendekat.

Lihat selengkapnya