Di tengah-tengah perjalanan menuju rumah sakit, Richard menelepon Pak Benu. Dengan suara terbata-bata Richard mengabarkan peristiwa yang dialami Pak Tedy; tak ada yang ditutup-tutupi.
“…. Pak Tedy luka parah. Ditikam pisau ….!”
Richard terlihat tegang. Tangan kirinya yang sedang memegang hape terlihat gemetar. Bagaimanapun juga Pak Benu adalah orang yang dulu merekomendasikan Richard ke Pak Tedy. Pak Benu memromosikan Richard sebagai pengawal yang berpengalaman, pandai menempatkan diri, dan tidak merokok. Tanpa membantah, Pak Tedy menyetujui usul Pak Benu. Betapa ironisnya ketika pada akhirnya Pak Tedy justru harus membayar mahal persetujuannya itu.
“Goblok! Mengapa bisa terjadi? Tugasmu mengawal. Bukan malah senang-senang sendiri …!”
Richard tak menjawab. Dibiarkannya Pak Benu mengumpatinya sejadi-jadinya. Richard merasa bersalah. Dia tidak waspada. Mestinya dia selalu berada di dekat Pak Tedy; tidak pernah mengalihkan pandangan matanya sedetik pun; mencegah siapa pun mendekat, alih-alih membiarkan seseorang pemabuk menubruk lalu menikamkan pisau ke dada Pak Tedy.
Richard sudah setahun lebih mengawal Pak Tedy; menyopiri dan menjaga saat laki-laki hiperseks itu keluyuran ke tempat-tempat hiburan di Jakarta dan sekitarnya; berburu perempuan muda. Meskipun orangnya suka foya-foya, Pak Tedy tidak pelit. Saat istri Richard operasi sesar ketika melahirkan anak kedua, Pak Tedy yang membayar seluruh biaya perawatan. Richard tak akan pernah melupakan hal itu seumur hidupnya.
Mobil produk Eropa itu AC-nya sangat kencang, tapi keringat dingin membasahi tengkuk Richard. Beberapa kali Pak Benu menyebut “nama baik perusahaan”, Richard paham maksudnya. Turunnya nilai saham PT Nusa Nesa dipengaruhi oleh banyak hal. Peristiwa terbunuhnya kepala departemen keuangan di sebuah kafe yang pengunjungnya orang-orang yang suka berbuat mesum termasuk salah satunya.
Sambil tangan kirinya tetap memegangi hape yang melekat di telinganya yang seakan-akan melepuh gara-gara lebih dari dua puluh menit mendengar semprotan Pak Benu, Richard tetap berkonsentrasi pada stir mobil; lalu lintas cukup ramai. Kota Jakarta memang tak pernah tidur; terlebih lagi pada malam Minggu.
“Coba sekarang bagaimana? Bagaimana mengatasi kekacauan itu? Bagaimana kalau wartawan tahu …?”
Richard tidak menjawab retorika yang tidak butuh jawaban itu. Apalagi Richard juga tidak tahu harus menjawab apa. Dibiarkannya Pak Benu terus menyalahkannya, memaki-makinya, lalu kembali menyalah-nyalahkannya sebelum akhirnya menutup omelannya yang lebih panjang jika dibandingkan dengan gerbong kereta api barang dengan beberapa perintah sekaligus.
“Jangan sampai berita itu tersebar! Terutama ke para wartawan! Tedy sudah mati, kan? Bawa mayatnya ke Rumah Sakit Panti Asih. Pemiliknya temanku!”
Pak Benu menutup telepon; Richard merasa sedikit agak lega. Sekarang tinggal mencari cara mengarahkan mobil ambulans ke rumah sakit yang tadi ditunjuk Pak Benu. Sesaat Richard punya pikiran menyalip ambulans yang melaju cukup kencang itu, menghentikannya, lalu menyuruh si sopir menuju Rumah Sakit Panti Asih.
Namun, Richard segera membuang pikiran tersebut jauh-jauh. Tidak mungkin menyalip ambulans di tengah-tengah lalu lintas yang cukup ramai. Kalaupun misalnya bisa menyalip, bagaimana cara menghentikan mobil yang sedang melaju dengan kecepatan lebih dari 80 kilometer per jam. Melambai-lambaikan tangan sambil berteriak-teriak? Lalu menyuruh berhenti? Jangan-jangan nanti malah menimbulkan kecelakaan akibat sopir ambulans mengerem mobilnya secara mendadak.
Richard terus membuntuti mobil ambulans dengan jarak yang cukup dekat. Dia sudah membuat keputusan. Perintah Pak Benu tadi akan dia sampaikan ke sopir ketika mobil ambulans sudah berhenti.
Lima menit kemudian mobil ambulans yang sirinenya meraung-raung itu memasuki pelataran rumah sakit di daerah Slipi. Mobil ambulans berhenti di depan ruang UGD yang lampu penerangannya terang benderang. Richard menghentikan mobil, lalu buru-buru turun, berlari menuju ambulans sebelum si sopir sempat membuka pintu mobil.