DANTE

Dewanto Amin Sadono
Chapter #7

Bagian 7

Pak Benu melayat ke tempat kelahiran PakTedy di Wonogiri. Jarak dari Bandara Adi Sumarmo, Solo, ke Wonogiri yang cukup jauh dia tempuh tanpa banyak mengeluh. Rombongan Pak Benu naik mobil sewaan. Richard yang menyopiri, sementara Eko, sopir sekaligus pengawal yang selama ini mengawal Pak Benu duduk di samping Richard. Lalu lintas tidak begitu lancar. Lebar jalan yang hanya empat jalur susah dipakai untuk menyalip kendaraan di depannya, kecuali keadaan benar-benar kosong.

Pak Benu butuh pengawalan ekstra. Dua pengawal mestinya lebih baik jika dibandingkan satu pengawal. Yang satu menjaga di depan, satunya di belakang. Atau mereka berada di sebelah kanan dan kirinya.

Pak Benu yakin Pak Tedy mati karena dibunuh. Penikaman terhadap Pak Tedy tidak mungkin tidak disengaja. Bahkan, mungkin sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Pelakunya pasti sudah sangat profesional. Pak Benu tidak tahu motif pembunuhan terhadap Pak Tedy. Bisa saja karena urusan pribadi. Bisa jadi gara-gara perempuan. Namun, bisa juga ada kaitannya dengan jabatan Pak Tedy sebagai Kepala Departemen Keuangan PT Nusa Nesa.

Pak Benu belum tahu siapa pelaku penikaman itu. Begitu juga alasan penikaman. Namun, Pak Benu sangat yakin suatu ketika bakal tahu. Cepat atau lambat. Sepulangnya dari Wonogiri nanti, Pak Benu akan menyuruh Richard melakukan penyelidikan.

Prosesi pemakaman Pak Tedy dilakukan hari itu juga, Minggu, pukul 15.00 WIB. Langit mendung, bunga kamboja menggugurkan bunganya, burung kuntul beterbangan di langit. Di pojok kompleks pemakaman yang dikelilingi tembok setinggi satu meter, serumpun pohon bambu berayun-ayun diterpa angin. Di kejauhan sana Waduk Gajah Mungkur yang airnya melimpah sedang menampakkan pesonanya.

Jumlah pelayat cukup banyak; keluarga, tetangga, dan kawan-kawan Pak Tedy. Pak Benu berpakaian serba hitam untuk menunjukkan duka cita yang mendalam. Beberapa pejabat penting PT Nusa Nesa juga turut hadir untuk menunjukkan simpati mereka kepada keluarga Pak Tedy.

Pelupuk mata Bu Tedy dan kedua anak perempuannya terlihat sembab dan membiru. Bisa jadi akibat terus-terusan menangis selama menemani jenazah Pak Tedy yang dibawa pesawat yang dicarter oleh perusahaan. Mereka berpakaian serba hitam; termasuk kerudung. Selama berlangsungnya pemakaman, perempuan setengah baya yang masih terlihat cantik dan kedua putrinya yang tak kalah cantik terus menangis meskipun tidak sampai histeris. Bisa jadi mereka sudah ikhlas ditinggalkan Pak Tedy; suami dan bapak tercinta mereka yang meninggal dunia pada usia yang belum terlalu tua, 54 tahun, yang menurut dokter Rumah Sakit Panti Asih akibat serangan jantung.

Selesai prosesi pemakaman Pak Benu kembali ke Jakarta. Permintaan Bu Tedy agar Pak Benu menginap barang sehari di rumah kelahiran Pak Tedy ditolak Pak Benu secara halus. Pak Benu dan Pak Tedy memang pernah sangat akrab. Rumah limasan berdinding kayu dan udara desa yang sejuk itu juga sangat menggoda Pak Benu; membawanya kembali ke masa-masa kecilnya. Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk bernostalgia. Ada hal penting yang harus diurusi Pak Benu; menemukan pembunuh Pak Tedy. Apalagi, Pak Benu dan Pak Tedy sekarang juga sudah berada di alam yang berbeda.

“Terima kasih, Bu Tedy! Pasti senang sekali bisa menginap di sini.” Pak Benu menyunggingkan senyum manisnya. “Warganya ramah, udaranya masih bersih. Belum ada polusi. Tapi sekali lagi mohon maaf, ya, Bu Tedy! Baru saja Pak Bos menelepon. Menyuruh saya kembali ke Jakarta hari ini juga.”

Lihat selengkapnya