Tanpa peduli tahi mata masih memenuhi sudut-sudut matanya, Jagad buru-buru menuju ruang tengah; menyalakan televisi; memilih channel yang biasa menyiarkan berita dalam dan luar negeri. Tak lama kemudian wajahnya terlihat kecewa. Lima stasiun televisi sudah dipelototinya, termasuk bagian running text, tapi sama sekali tak ada berita yang sejak tadi malam dia tunggu-tunggu. Belum mau menyerah, Jagad kembali memencet-mencet remote secara acak, siapa tahu berita itu dimuat di stasiun televisi lain. Namun, hasilnya sama saja; berita yang dicari Jagad tidak ada.
“Dasar setan!”
Jagad mengumpat lalu menggeram. Remote dilemparkannya ke sofa. Tadi malam Redy menghubunginya. Selain mengabarkan telah melaksanakan tugasnya, Redy juga minta maaf sebab “hanya” menikam laki-laki berperut gendut dan botak itu dengan pisau. Tidak merebusnya dalam air mendidih hingga dagingnya mengelupas dari tulang. Tidak memutilasi lalu memasukkan bagian-bagian tubuhnya ke dalam mesin pencincang daging.
“Kekurangan bayarannya kuminta! Kirim ke nomor rekening yang sama!”
Jagad belum akan memenuhi permintaan itu. Sedahsyat apa pun ucapan Redy, selama belum ada bukti, Jagad tidak akan memercayainya. Hanya pepesan kosong. Bukti yang diinginkan Jagad tak perlu sebombastis itu. Cukup berita singkat; “Kepala Departemen Keuangan PT Nusa Nesa Berinisial T, Tewas di Cafe D. Dadanya Berlubang Akibat Ditikam pisau.”
Tiba-tiba telepon berdering. Hampir saja Jagad membanting teleponnya; mengira Redy yang menelepon; menagih kekurangan uang bayaran. Untung BBM yang sudah diangkatnya tinggi-tinggi itu tidak jadi dilemparkannya ke dinding. Yang menelepon ternyata Pak Sarno.
“Sumbernya sangat bisa dipercaya. PT Cuan akan diakuisisi. Lalu dipecah-pecah menjadi beberapa perusahaan. Buruan jual semua sahammu! Alihkan ke PT Lintas Jaya.”
“Ok, Pak Sarno! Makasih infonya!”
Jagad hanya punya Pak Sarno, laki-laki setengah baya yang penampilannya seperti pemulung. Bagi Jagad, Pak Sarno bukan sekadar teman melainkan guru sekaligus malaikat penolongnya. Berkat didikannya, Jagad yang semula sama sekali buta tentang bisnis saham, dalam setahun sudah berubah menjadi seorang pialang yang sangat mumpuni. Jagad hampir tak pernah salah dalam memilih saham yang nilainya bakal naik, juga hampir tak pernah kalah saat bermain valas. Murid yang luar biasa sudah pasti berkat ajaran gurunya yang super luar biasa.
Jagad memutuskan tak mau lagi berteman dengan siapa pun sejak Pak Nurdin ditangkap polisi dan teman-teman dekatnya justru meninggalkannya. Teman sejati memang susah dicari, dan itu sudah terbukti. Di dunia ini, teman yang suka memberi dan tak mengharap kembali sedikit sekali jumlahnya. Kebanyakan, teman yang berlaku sebagai benalu atau cacing kremi.
Pada saat Jagad merasa sendiri dan tak punya siapa-siapa, malaikat mengirimkan Pak Sarno kepadanya. Sejak itu Jagad dan Pak Sarno menjalin persahabatan. Keduanya memang jarang sekali bertemu muka, alih-alih menghabiskan waktu bersama-sama. Meskipun demikian, Jagad dan Pak Sarno hampir setiap hari saling berkomunikasi, dan tidak melulu membahas tentang saham.
Yang terjadi pada Pak Sarno adalah sesuatu yang fenomenal. Prestasi akademis dan rezeki ternyata jaraknya bisa lebih jauh jika dibandingkan dengan jarak antara Kutub Utara dan Kutub Selatan. Hal itu sudah dibuktikan oleh Pak Sarno. Saat SMP, dari 32 siswa, Pak Sarno selalu rangking ke-2 dari bawah. Saat pelajaran, Pak Sarno sering dilecehkan oleh teman-temannya, dan terkadang juga oleh gurunya. Wajah Pak Sarno di bawah rata-rata, begitu juga kemampuannya dalam menyerap pelajaran. Bahasa Inggris adalah pelajaran yang dibenci Pak Sarno, dan yang paling dibencinya Matematika; bersaing ketat dengan kebencian Pak Sarno terhadap kemiskinan yang diderita keluarganya.
Setelah lulus SMP dengan nilai pas-pasan, Pak Sarno meninggalkan desa kelahirannya di Wonosari, Gunung Kidul; dan memutuskan merantau ke Jakarta. Pak Sarno memilih Jakarta bukan karena punya kenalan atau saudara di Kota Metropolitan itu, melainkan hanya itulah nama kota yang nyantol di otaknya selama tiga tahun belajar IPS Geografi.
Pak Sarno pernah bekerja sebagai pelayan toko, pemulung, dan tukang tunggu WC umum di Stasiun Gambir. Dari situlah arah rezeki Pak Sarno berubah. Kuncinya adalah kejujuran. Ketika dompet seorang yang berpakaian rapi itu terjatuh di WC, Pak Sarno segera mengambilnya. Meskipun dompet itu terlihat sangat gemuk, walaupun saat itu tidak ada satu pun orang di sekitar WC, tanpa ragu Pak Sarno segera mengembalikan kepada pemiliknya.
“Pak, dompetnya jatuh!”
Seperti cerita sinetron, perbuatan terpuji Pak Sarno itu berbuah manis. Pengelola BEJ Bernama Pak Robin itu lalu menawari Pak Sarno bekerja sebagai cleaning service. Upahnya sudah tentu lebih besar jika dibandingkan dengan profesi Pak Sarno sebagai tukang tunggu WC di Stasiun Gambir.
Meskipun waktu itu Pak Sarno tidak tahu apa itu bursa efek, Pak Sarno segera mengiyakan tawaran tersebut. Pak Sarno segera mengambil tas kumal yang berisi pakaian kumal yang dia titipkan di kios kopi langganannya. Pak Sarno lalu mengikuti dewa penolongnya menuju mobil yang terparkir di halaman stasiun.
Dalam perjalanan naik mobil sedan yang AC-nya dingin sekali, Pak Robin memberitahu Pak Sarno bahwa tujuannya ke Stasiun Gambir sebenarnya bermaksud menjemput temannya. Tapi yang dijemput ternyata turun di Stasiun Jatinegara.
“Ketemunya malah kamu!” Pak Robin tertawa. “Tapi saya sangat percaya. Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan.”
Pak Robin ternyata pejabat yang cukup berpengaruh di kantor BEJ. Selain diberi pekerjaan, Pak Sarno juga diberi ruangan di dekat gudang yang bisa dipakainya sebagai kamar tidur. Meskipun demikian, Pak Sarno dilarang keras memasak di kamar. Untuk memenuhi rasa laparnya, Pak Sarno membeli makanan di Warung Tegal yang lokasinya di sebuah gang sempit tak jauh dari gedung BEJ. Harga makanannya murah meriah.