Pagi itu Pak Benu masuk kantor seperti biasa. Yang tidak biasa adalah rute yang dilewatinya. Jika sebelumnya mobil yang dinaikinya langsung masuk jalan utama, lurus ke arah Grogol lalu belok kanan, kali ini Pak Benu menyuruh Eko mengarahkan mobil memasuki Mal Pluit, keluar lagi, lalu masuk lagi. Setelah memastikan tidak ada yang membuntuti, barulah mobil meluncur ke kantor PT Nusa Nesa di Jalan Jendral Sudirman.
“Apa kematian Pak Tedy ada hubungannya dengan ditangkapnya Pak Nurdin, Pak?” tanya Richard dalam perjalanan menuju kantor Pak Benu, setelah dua menit mobil dipenuhi oleh intrumentalia musik jaz yang disetel lirih.
Pak Benu mengernyitkan dahi; “Dugaanmu seperti itu?”
“Hubungannya apa dengan kasus Pak Nurdin?” Eko yang sedang memegang setir ikut angkat bicara. “Jangan ngawur, kamu!”
Richard mengangkat bahu. “Bisa saja seperti itu, kan? Isu yang beredar Pak Nurdin telah dijebak.”
“Maksudnya?” Pak Benu cepat menyahut.
“Maaf, Pak! Saya hanya menirukan spekulasi yang beredar di masyarakat. Pembunuhan terhadap Pak Anhar konon hanya rekayasa. Hanya agar bisa menjebloskan Pak Nurdin ke dalam penjara?”
Pak Benu berubah warna mukanya. Ada yang berdesir di dalam dadanya. “Benarkah kabar yang beredar seperti itu?”
Richard cepat-cepat menyahut. “Hanya di kalangan terbatas, Pak. Tidak menyebar sangat luas!”
Pembicaraan tentang Pak Nurdin dan Pak Anhar memang berhenti sampai di situ, tapi tidak demikian halnya dengan yang ada di dalam pikiran Pak Benu. Pengadilan memang telah memutuskan bahwa Pak Nurdin telah terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat pembunuhan terhadap Pak Anhar. Namun, kalau omongan Ricard benar, bisa jadi ada orang-orang tertentu yang tidak puas dengan keputusan hakim tersebut.
Setelah melewati lalu lintas yang macet, Pak Benu tiba di gedung pencakar langit milik PT Nusa Nesa. Tingginya 125 lantai. Dinding-dindingnya dilapisi kaca yang berkilat saat ditimpa sinar matahari. Puncaknya bisa dilandasi helikopter. Ratusan perusahaan berkantor di dalamnya. Harga sewa per tahunnya mencapai puluhan juta.
Eko menurunkan Pak Benu di depan lobby gedung, lalu memarkir mobil di tempar parkir khusus bagi para pejabat eksekutif. Letaknya di basemen. Sementara itu, Richard terus mengawal Pak Benu; memasuki lift yang juga khusus, hanya boleh dinaiki orang-orang tertentu. Tujuannya lantai 77.
Pak Benu tiba di ruangan yang luas. Ukurannya 10 X 10 meter dan hanya dihuni oleh dua orang; Pak Benu dan Susi, sekretarisnya. Lemari besi berjajar-jajar seperti sedang baris. Isinya data seluruh pegawai PT Nusa Nesa, dari Sabang sampai Pulau We. Kantor Pak Benu di dalam ruangan itu juga. Namun ukurannya lebih kecil. Pemandangan kota Jakarta bisa dilihat dari ruangan yang sejuk itu. Orang-orang dan benda-benda terlihat sangat kecil jauh di bawah sana.
Setelah memastikan Pak Benu duduk di kursinya yang empuk, Richard keluar ruangan, lalu menempati posnya. Jika sebelumnya dia bisa duduk di mana saja di sekitar lorong, tapi sejak kematian Pak Tedy, Pak Benu menyuruh Richard duduk tepat di depan pintu kantornya.
Tak lama kemudian Eko datang. Laki-laki yang belum beristri itu segera duduk di sebelah Richard. Eko berasal dari Temanggung, dan sudah sepuluh tahun merantau ke Jakarta. Di kampungnya, Eko seorang guru silat dan petani tembakau. Ketika terjadi perkelahian massal dengan perguruan silat lain yang menyebabkan puluhan orang terluka, Eko melarikan diri ke Jakarta. Salah satu pesilat yang dia pukuli hingga hampir mampus adalah anak seorang pejabat di daerahnya.
Richard dan Eko duduk seperti sepasang arca yang sedang menjaga pintu masuk candi. Tugas mereka memastikan Pak Benu aman. Siapa pun yang ingin bertemu dengan Pak Benu harus diperiksa dahulu, kecuali orang-orang yang sudah sangat mereka kenal.
Sementara itu, di dalam kantornya, Pak Benu sedang memeriksa dan menandatangani beberapa berkas yang tersusun rapi di dalam stopmap. Sekretarisnya yang cantik, Susi, sudah bekerja dengan baik. Orangnya setia pada pasangannya dan suka menampar orang-orang yang coba menggodanya. Untungnya, Pak Benu belum pernah menjadi korban tamparan Susi. Sejak lima tahun terakhir, Pak Benu tidak suka menggoda perempuan mana pun. Bukan semata-mata takut kepada istrinya. Diabetes telah menyerang kemaluannya dan membuatnya tak bisa ereksi.
Sejak itu, Pak Benu memutuskan untuk lebih memperhatikan keluarganya. Utamanya istrinya yang setia, sayang, dan perhatian meskipun luar biasa pencemburu. Juga lebih menyayangi tiga anak Pak Benu yang lahir telat. Mereka masih duduk di bangku SMP dan SD. Pak Benu ingin memastikan jika penyakit gula celaka itu gagal dikendalikan dan sewaktu-waktu merenggut nyawanya, keluarga yang ditinggalkannya tidak menderita. Ada kekayaan yang bisa mereka kelola. Syukur-syukur sampai tujuh turunan.