Waktu masih remaja dan tinggal di desa, Kusni suka berburu jangkrik dengan teman-temannya. Lokasi perburuan di Bukit Sentono di seberang Sungai Pepe di sebuah makam yang sudah tidak lagi digunakan untuk mengubur jenazah. Kusni dan teman-temannya berangkat setelah Magrib. Mereka bersarung, berkopiah, dan berpenerangan obor bambu berbahan bakar minyak tanah. Di Bukit Sentono yang kering dan gersang, jangkriknya besar-besar, bahkan ada yang sebesar jempol kaki. Deriknya “krik krik”; melengking dan memekakkan telinga. Selain untuk diadu, jangkrik-jangkrik itu juga dijual kepada yang butuh. Suaranya yang ribut bisa untuk mengusir tikus. Duitnya buat beli jajan gulali atau es lilin.
Kali ini Kusni juga sedang berburu jangkrik, tapi bukan jangkrik kalung yang asyik jika diadu. Atau jangkrik jaliteng berwarna hitam mengkilat dengan sedikit warna kuning pada ujung sayap. Atau jangkrik jerabang yang berwarna merah bata mengkilap dan bertubuh kokoh. Namun, Kusni sedang berburu “jangkrik” upa. Bentuknya pipih kecil dengan warna putih pucat dan tampak tidak kokoh. Makanannya nasi atau upa dan biasa dijumpai di dalam rumah. Namanya Jagad; tukang bohong yang tidak menyadari sedang berhadapan dengan siapa.
Kusni menutup laptop yang selalu dibawanya ke mana-mana, lalu memasukkannya ke dalam rangsel; bercampur dengan barang-barang lain. Kusni tampak cemberut. Baru saja Kusni harus membayar tambahan biaya penginapan selama dua hari. Harus cukup dua hari! Kusni sudah membuat rundown. Satu hari untuk mempelajari rumah dan kebiasaan Jagad, setengah hari untuk mengeksekusinya, dan setengah hari akan dipakainya untuk kabur dari Jakarta.
“Bocah goblok!”
Setelah mengumpat, Kusni memeriksa kembali kamarnya. Barangkali ada barang-barang yang biasa dipakainya untuk menyamar tercecer dan belum sempat disimpannya. Siapa tahu ada room boy yang curiga lalu membicarakan dengan temannya lalu mengait-ngaitkan penemuan itu dengan kasus penikaman di Cafe Destroy.
Dalam menjalankan bisnisnya, Kusni selalu bersikap hati-hati; tidak menyepelekan hal sekecil apa pun. Itulah rahasia kenapa sampai sekarang Kusni belum pernah tertangkap. Satu lagi, selama menjalankan operasinya, seperti halnya dokter bedah, Kusni selalu menggunakan sarung tangan. Tujuannya agar sidik jarinya tidak berceceran di mana-mana. Sarung tangan yang dibeli Kusni lewat internet itu bikinan Jepang. Bahannya dari karet sintetis yang sangat tipis. Kalau tidak diperhatikan secara cermat, tidak bakal ada yang menyadari bahwa Kusni sedang mengenakan sarung tangan.
“Dasar amatir!”
Kusni menggerundel. Bocah goblok itu mengira bisa menipunya. Kusni sudah dolanan internet sejak bocah itu masih belajar merangkak. Web dark adalah tempat berseluncurnya. Bahasa Inggris Kusni memang tidak begitu jago, tapi ada si jago yang bisa dimintai pertolongan kapan saja dan di mana saja. Bahkan, tanpa perlu mengucapkan terima kasih setelahnya. Apalagi Google Translate terbukti lebih jago menerjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris daripada sebaliknya.
Perihal mencari alamat seseorang berdasarkan nomor telepon bukan perkara susah bagi Kusni, seseorang yang biasa bergerilnya di website yang gelap pekat. Banyak hacker yang bisa dimintai tolong. Bayarannya murah. Jangankan hanya perkara sesepele melacak nomor telepon, web dark yang tidak banyak dikenal orang itu bahkan bisa dibilang seperti pasar gelap; berbagai keperluan yang tidak disediakan oleh pasar yang terang benderang disediakan di sana: kursus kilat membuat bom, berbagai jenis senjata, bermacam-macam racun dan petunjuk penggunaannya, organ tubuh manusia. Pokoknya komplet plet.
Kusni keluar dari kamar hotel, tersenyum pada room boy yang berpapasan dengannya di lorong hotel, lalu turun ke lantai I. Nama lengkap dan alamat Jagad sudah dicatatnya. Rumahnya ternyata agak di luar Jakarta. Bahkan, bagi Kusni tak masalah sekali pun bocah yang sebentar lagi mati itu tinggal di Bulan. Kusni tetap akan mengubernya.
Permasalahan utamanya bukan perihal uang. Kusni bahkan bersedia menggratiskan jika memang pengordernya benar-benar tidak mampu sementara keinginannya begitu menggebu-ngebu hingga membuatnya berhari-hari tak bisa tidur. Orang yang berlagak sok kaya, tapi kabur saat tiba waktunya pelunasan jelas-jelas telah membuat Kusni muntab dan ingin segera memusnahkannya dari muka Bumi ini.
“Ke Pondok Gede, Pak!”
Kusni memasuki salah satu taksi yang sedang ngetem di depan hotel. Pengemudinya masih muda. Wajahnya kusam seperti belum mandi berhari-hari. Baju seragamnya yang barangkali sudah seminggu tidak dicuci tak kalah kumal. Udara panas. AC mobil yang sepertinya sudah saatnya dibanting itu mendesis-desis sia-sia. Mobil tersendat-sendat; beringsut-ingsut membelah lalu lintas kota Jakarta yang padat merayap.
Selama perjalanan si sopir yang berkopiah putih, entah sudah haji atau belum, berkali-kali melirik Kusni lewat kaca spion di atas sebelah kiri kepalanya. Ada sopir taksi tertentu yang tak bisa menahan mulutnya dari mengajak berbincang-bincang penumpangnya. Bisa jadi untuk memberi kesan ramah. Bisa pula untuk mengusir kebosanan menghadapi kemacetan lalu lintas. Meskipun demikian, ada juga sopir yang menjadikan kegiatan mengobrol dengan penumpang sebagai hobi. Sopir ini salah satunya.
“Dari mana, Bang?”
Kusni menoleh sebentar ke arah si sopir, lalu kembali menekuri deretan mobil yang seperti tak ada habis-habisnya; di kanan, kiri, depan, belakang; berbagai merk dan bentuk.
“Dari hotel mau ke Pondok Gede!” Kusni menjawab sekadarnya.
Pikiran Kusni sedang ruwet; tak ingin terlibat obrolan dengan siapa pun. Tapi, si sopir yang sepertinya sudah sangat berpengalaman menghadapi penumpang dengan tipe seperti Kusni tidak peduli. Si sopir tidak marah, justru tersenyum.