Menjelang jam kuliah dimulai, Maya ditelepon si tampan. Orang yang hampir saja mengirimkan Maya ke alam baka itu menanyakan keadaan Maya. Hanya itu saja. Tak ada kata-kata sayang, alih-alih cinta. Tapi hal itu sudah mampu membuat konsentrasi belajar Maya buyar dan pudar. Penjelasan dosen statistik yang biasanya mudah dia pahami, kali ini tak ubahnya air hujan yang jatuh ke batu; tak ada yang terserap.
Seminggu lalu, saat hendak berangkat ke kampus, peristiwa yang sangat mengerikan hampir menimpa Maya. Ketika Maya keluar dari kompleks perumahan dengan naik sepeda motor, sebuah mobil hampir menabraknya. Untung pengemudinya sigap dan mengerem tepat pada waktunya. Meskipun demikian, bumper mobil sempat menabrak bodi motor matic yang dikendarai Maya walaupun tidak terlalu keras.
Tabrakan tersebut membuat Maya tak bisa menjaga keseimbangannya. Motornya terguling dan menimpa kakinya. Maya masih terbengong-bengong ketika si tampan turun dari mobil, menghampiri, lalu memberdirikan motor yang menindihnya. Tadi Maya sempat mengira dirinya bakal mati dilindas mobil. Atau tubuhnya hancur berantakan. Mobil bercat hitam yang melaju terlalu di pinggir itu tiba-tiba muncul begitu saja. Untung sopirnya tidak panik; sehingga tidak justru keliru menginjak pedal gas.
Si tampan meminggirkan motor Maya di dekat trotoar, lalu jongkok di depan Maya. Ekspresi wajahnya terlihat cemas.
“Sakit? Apanya yang sakit?”
Maya menggeleng-geleng kepala. “Tidak apa-apa, kok!”
“Beneran?”
Si tampan memainkan alisnya yang hitam dan tebal; Maya kelabakan. Wajah si pemuda yang terkesan dingin, tapi sangat berkharisma itu membuat jantung Maya empot-empotan. Namun, Maya bukan tipe orang suka mencari perhatian, alih-alih mengemis-mengemis rasa kasihan. Untuk membuktikan keadaannya memang baik-baik saja, Maya berdiri sambil menebarkan senyumnya.
“Nih, Maya tidak apa-apa ….”
Maya tak sempat menyelesaikan ucapannya. Belum juga sempat berdiri tegak, Maya limbung lalu oleng. Namun, seperti roman picisan pada umumnya, yang mana perkenalan antara cewek dan cowok terjadi lewat adegan-adegan klise yang ternyata tetap terlihat manis, demikian juga yang terjadi pada Maya. Ketika tubuh Maya sedang miring empat puluh lima derajat, menuju tahapan terbanting ke aspal, si pemuda dengan sigap memeluknya.