DANTE

Dewanto Amin Sadono
Chapter #13

Bagian 13

Usai dipecundangi bocah yang dikira Kusni masih ingusan itu, Kusni pulang ke Mesuji, Lampung, dan tiba sehari kemudian. Kondisinya babak belur; fisik dan psikis. Bahkan, yang tersisa padanya hanya pakaian yang sedang dikenakannya. Itu pun pemberian orang.

***

Kapal pengangkut kayu olahan itu menggemakan terompet saat matahari terbenam. Jangkar diangkat. Pelabuhan Kalibaru ditinggalkan. Tujuannya Dermaga BOM Kalianda, Lampung Selatan.  Ukuran kapal yang hanya 175 BRT atau 500 meter kubik membuat kapal mampu bergerak lincah. 

Langit cerah. Burung-burung camar terbang berebutan pulang ke sarang. Angin menerpa buritan. Di anjungan, nahkoda memberikan beberapa perintah. Baling-baling berputar pelan lalu bertambah kencang. Air laut memercik-mercik dan berbuih-buih. Lampu kapal yang terang benderang menembus kabut tipis yang serupa dengan tirai raksasa.

Di dek dasar, Kusni mencoba tidur beralaskan lengan, tapi matanya tak bisa segera terpejam. Batinnya sedang terganggu. Dia baru saja mendapat pencerahan; di atas langit ternyata masih ada langit, dan begitu juga di atasnya lagi. Bocah yang dikira Kusni masih ingusan itu ternyata profesional. Jagad Subekti terbukti nama palsu. Begitu juga alamatnya.

Semula Kusni jumawa; merasa bisa menebak apakah pengordernya pintar atau bodoh. Caranya dengan menyuruh menyebutkan nomor teleponnya dalam hitungan detik. Pengorder yang bodoh sudah pasti akan menggunakan nomor telepon yang sehari-hari digunakannya sehingga hafal di luar kepala. Hal itu memudahkan siapa saja yang tahu teknologi komunikasi untuk melacak nama dan alamatnya.

“Dasar setan! Demit! Iblis!”

Jagad ternyata bisa menyebutkan nomor teleponnya dengan lancar dan tidak terbata-bata. Bisa jadi Jagad telah menghafalkannya seakan-akan sudah tahu hal itu yang bakal ditanyakan kepadanya.

Kusni berjanji bakal menguber Jagad sampai ketemu bagaimanapun caranya. Namun, untuk sementara jalannya sedang buntu. Jakarta sangat luas. Jumlah penduduknya hampir 9 juta. Di kota itu, nama Jagad sudah pasti jumlahnya lebih dari lima belas. Andai saja Kusni punya foto milik Jagad, pasti lebih mudah melacaknya. Kusni bisa mencetaknya lalu menempelkannya di gardu listrik dan tiang telepon. “Dicari! Hidup atau Mati!”

Kusni tersenyum masam dan kembali memejamkan mata, setengah dipaksanya. Dicobanya menghilangkan pikiran-pikiran yang mendera kepalanya. Mulut Kusni komat-kamit menghitung angka mulai dari satu hingga matanya terlelap. Di dekat Kusni, beberapa awak kapal yang berbadan kekar sudah mendengkur sejak lima belas menit yang lalu; beralaskan apa saja yang bisa mereka temukan. Sementara itu, di anjungan, nahkoda kapal dan juru mudi sedang menajamkan mata; menghindarkan kapal yang sedang mereka kemudikan bertabrakan dengan kapal lain.

Kusni tak tahu sudah berapa lama tertidur. Sepertinya belum terlalu lama. Bahkan, dia belum sempat bermimpi. Guncangan kapal cukup yang keras membuatnya terjaga. Waktu ke Jakarta tiga hari yang lalu, kapal juga sempat terhempas ombak. Namun, tidak sekuat saat ini.

“Bangun! Bangun! Bangun!”

Seseorang yang entah siapa berteriak cukup keras. Nadanya yang cemas terdengar jelas di antara suara mesin kapal dan deru ombak. Beberapa awak kapal langsung berdiri. Namun, beberapa awak kapal yang mungkin kecapekan lebih suka bersikap malas-malasan. Bisa jadi, mereka beranggapan kapal yang oleng ke kanan dan ke kiri hingga membuat posisi tidur mereka bergeser-geser bukan hanya sekali ini.

“Ada apa, Bang?” Kusni mencolek lengan awak kapal yang berdiri di dekatnya.

Belum juga pertanyaan itu terjawab, kapal kembali berguncang, bahkan lebih kuat dibanding guncangan sebelumnya. Kapal berderak-derak seakan-akan hampir pecah. Kusni terpental membentur dinding kayu; begitu juga beberapa awak kapal yang tak sempat berpegangan. Barang-barang berhamburan; berjatuhan ke lantai dek. Keadaan porak poranda. Lampu dek yang semula hanya remang-remang tiba-tiba mati.

“Capat naik! Semuanya naik!”

Lihat selengkapnya