Saat sedang tenar-tenarnya boneka yang bisa bicara yang bernama Susan, dia dilahirkan ibunya pada Malam Jumat Pon. Bapaknya lalu memberikan nama yang sama untuk anak perempuannya. Tidak seperti Susan si boneka yang cerewet dan omongnya banyak, Susan Maya Suastika cenderung pendiam. Kulit perempuan yang tidak bisa memasak ini hitam, dan sudah menjadi janda saat umurnya baru menginjak 18 tahun, dan sepertinya bakal menjadi janda lagi menjelang usia 20 tahun. Itu jika suami keduanya yang sudah pergi seminggu itu tidak kembali lagi.
***
Karena tidak mau menjadi petani singkong seperti kedua orang tuanya, lulus SMP, Susan merantau ke Bandar Lampung, lalu bekerja sebagai pelayan toko kelontong milik Babah Liong. Toko yang menjual berbagai barang itu termasuk laris sehingga pemiliknya perlu mempekerjakan dua karyawan. Gajinya sudah tentu di bawah UMR.
Sementara itu, Trubus bekerja di pabrik panci yang lokasinya berseberangan dengan Toko Kelontong Surya Gemilang. Susan dan Trubus menjadi akrab sebab hampir setiap kali Trubus membeli rokok, Susan yang melayani. Mereka pun akhirnya pacaran, lalu menikah tak lama kemudian.
Demi bisa melayani sang suami dengan sebaik-baiknya, Susan memutuskan keluar dari tempat kerja. Namun, di rumah kecil tak jauh dari sungai dan seratus meter dari tempat pembuangan sampah itu, ternyata Susan bukan hanya melayani Trubus seorang, melainkan juga bapak mertua, ibu mertua, serta adik ipar. Dari situlah awal mula terjadinya pertengkaran yang tidak habis-habisnya.
Susan bersungut-sungut. Kakinya tersaruk-saruk. Dijauhinya rumah yang sempit dan jelek yang sudah ditempatinya hampir 2 tahun itu. Tuduhan bahwa dirinya mandul, sungguh biadab. Susan merasa dirinya subur. Dirinya belum hamil sebab menunggu ekonomi suaminya mapan. Bisa menabung. Bisa mencicil rumah. Dua tahun nikah dan belum hamil adalah hal yang sangat biasa. Ada juga pasangan suami-istri yang baru diberi keturunan setelah 15 tahun menikah. Atau, jangan-jangan suaminya yang mandul? Buktinya bercintanya tak kuat lama.
Susan sudah tak tahan lagi. Semalam Susan dan Trubus bertengkar hebat dan itu bukan yang pertama kali. Trubus yang tidak kaya dan juga bukan buruh pabrik panci yang penyayang memaki-maki Susan habis-habisan.
“Istri celaka! Durhaka! Pembangkang …!”
Seperti biasa, bukannya melerai, bapak mertua, ibu mertua, dan adik ipar Susan justru ikut mengeroyok Susan. Ganti-ganti menuding-nudingkan jari telunjuk mereka ke muka Susan.
“Dasar mandul!” kata si bapak mertua.
“Pelit!” seru si adik ipar.
“Benalu! Parasit!” jerit si ibu mertua.
Setelah secara membabi buta membalas hujatan-hujatan tersebut, Susan masuk kamar dan menangis. Dikuncinya pintu dari dalam. Tak peduli Trubus nanti tidur di mana. Terserah jika mau minta kelon dan kembali menyusu ibunya.
Pertengkaran tadi malam diawali hal sepele. Trubus menyuruh Susan membelikan rokok dan Susan menolak. Warung Yu Minah hanya berjarak lima rumah, tapi sudah pukul 23.00 WIB. Tak etis mengetuk warung yang sudah tutup. Berarti pemiliknya sudah cukup mendapatkan untung. Seperti alap-alap, sang ibu mertua langsung menyambar Susan.
“Surga istri di bawah telapak kaki suami! Jangan sekali-kali berani membantah! Dosa besar! Masuk neraka!”
Biasanya mulut Susan hanya terkunci. Namun, bisa jadi karena Susan sedang capek--tadi nyuci banyak sekali, ditambah nyapu dan ngepel-- kali ini Susan tak lagi bisa menahan diri.
“Mana pasal yang menyebutkan itu? Tunjukkan padaku!” Susan meradang.
“Ada! Pokoknya ada! Aku pernah mendengarnya di pengajian televisi!” balas si ibu mertua.
“Memangnya suami tak boleh dibantah? Memangnya istri harus selalu mengalah?”
Si ibu mertua terdiam seperti anjing tanah terinjak kaki; barangkali kaget sang menantu kali itu ternyata berani menentangnya. Kedua bibirnya bergerak-gerak. Namun tak sepatah kata pun yang terucap. Tahu istrinya mati kutu, si bapak mertua ganti yang meladeni. Senjata yang digunakannya sungguh khas laki-laki.
“Istri kurang ajar macam ini, ceraikan saja!”