Mukti sama sekali tak menyangka bakal menjadi pecundang yang mengecundang. dalam pemilu legislatif tahun ini. Peluang 99 persen bakal terpilih seperti yang sering diomongkan anggota timnya ternyata hanya harapan palsu. Mukti telah menghabiskan uang bermiliar-miliar dan hasilnya sia-sia. Walaupun sebagian besar duit yang digunakannya untuk membeli suara pemilih berasal dari bapaknya, duit tetaplah duit. Tidak boleh terbuang cuma-cuma.
“Dasar bedebah!”
Mukti melemparkan gelas ke dinding. Prak! Serpihannya berserakan di lantai apartemen. Dari 10 kursi yang diperebutkan di Dapil VIII Jawa Timur yang meliputi Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Kota Mojokerto, dan Kota Madiun, perolehan suara Mukti hanya menduduki peringkat 15. Padahal, partainya sengaja telah menempatkan Mukti di daerah yang merupakan basis partai dan tempat asal-usul leluhur-leluhur Mukti.
Meskipun begitu, suara yang diperoleh Mukti ternyata kalah jauh jika dibandingkan dengan perolehan suara yang didapat seorang pelawak yang lawakannya tidak lucu, penyanyi yang saat di panggung hanya mengandalkan wajahnya yang cantik, atau legislator kawakan yang dijuluki badut Senayan.
Sudah pasti orang-orang yang telah diberi Mukti uang 100 ribu rupiah agar memilihnya saat pemilihan anggota legislatif telah ingkar janji. Bisa pula uang itu tidak sampai ke tangan para pemilih, melainkan dikantongi sendiri oleh anggota tim. Apalagi Mukti sendiri tidak begitu kenal mereka semua, kecuali hanya beberapa. Ketika sedang tidak kampanye, Mukti lebih sering tinggal di Jakarta; mengurus perusahaan yang dibuatkan bapaknya. Kadang Mukti tidur di rumah orang tuanya, di daerah Ciracas; kadang kala mendengkur di apartemennya di Kalibata.
Mukti melemparkan botol air mineral di tangannya ke dinding, lalu kembali memaki, dan kali ini lebih keras dan lebih geram dibanding sumpah serapah sebelum-sebelumnya.
“Dukun bangsat!”
Sebulan sebelum pelaksanaan pemilihan anggota legistiatif, Siam, salah seorang anggota tim kemenangan Mukti mengabarkan ada dukun sakti yang tinggal di lereng Gunung Merapi. Katanya, sudah banyak calon bupati, calon wali kota, dan calon gubernur yang datang kepada sang dukun; minta bantuan agar terpilih waktu Pilkada, dan hampir semuanya sukses.
“Tidak ada salahnya mencoba! Namanya juga usaha!”
Mula-mula Mukti ragu-ragu. Bapaknya punya beberapa keris dan salah satunya bisa dibuat berdiri. Tiap malam 1 Suro keris-keris dengan berbagai pamor itu dijamas pakai air kembang setaman. Namun, Mukti sendiri tidak terlalu percaya akan hal-hal mistis seperti itu. Apalagi sampai dekat-dekat dengan dukun. Sekolahnya yang setinggi langit telah mencegah Mukti melakukan hal-hal yang menurutnya tabu. Namun dorongan untuk terpilih ditambah hasrat untuk berkuasa membuat Mukti rela menggadaikan akal sehatnya.
Dalam perjalanan ke Jawa Timur dengan tujuan berkampanye, mobil yang dikendarai Mukti dan anggota tim inti menyempatkan lewat Jogyakarta. Mobil yang ditumpangi 4 orang termasuk sopir itu belok kanan di Bawen, melewati Ambarawa, Secang, Magelang, Muntilan, Mungkid, lalu belok kiri setelah Jembatan Tempel. Tiba di Pertigaan Pulowatu, mobil belok kiri, lalu lurus dan merangkak naik menuju sebuah dukuh yang sepuluh tahun yang lalu hancur lebur oleh wedus gembel Merapi.
Rumah sang dukun menyempil di lereng Merapi, berhadapan langsung dengan mulut kawah Gunung Merapi yang terus-terusan melelehkan lahar. Karena mobil tidak bisa masuk halaman rumah sang dukun akibat jalannya sangat sempit, sopir menghentikan mobil di mulut jalan. Siam dan Mukti mendatangi rumah sang dukun. Yang lain menunggu di mobil.
Setelah menyusuri jalan setapak yang dipenuhi semak, belukar, dan dedalu, 5 menit kemudian Mukti dan Siam tiba di sebuah rumah yang tampaknya tak dirawat oleh pemiliknya. Rumah itu berdinding bambu, beratap jerami, dan didirikan tepat di samping batu sebesar kapal. Halamannya dipenuhi rumput dan sampah dedaunan.
Mukti berdiri di depan pintu dan mematung di situ. Siam berdiri di belakangnya. Pintu dalam keadaan tertutup. Bisa jadi orangnya tidak di rumah. Atau sedang tidur. Sejenak Mukti termangu-mangu. Namun, lima detik kemudian dia membuang jauh-jauh keraguannya. Jakarta-Jogyakarta tidak dekat. Apalagi dia juga sudah di depan pintu dan hanya perlu mengetuknya.
Namun, belum juga Mukti sempat menggerakkan tangan, tiba-tiba pintu kayu membuka selebar-lebarnya, diikuti suara menggelegar.
“Ini pasti orangnya!“
Mukti melompat ke belakang; jantungnya hampir copot. Siam yang berdiri di belakangnya hampir saja dilanggarnya. Untungnya Siam juga melakukan hal yang sama, bahkan lompatannya lebih jauh jika dibandingkan dengan lompatan Mukti. Sementara itu, sang tuan rumah yang pakaiannya mirip pendekar silat itu hanya terkekeh-kekeh.
“Sampeyan sudah saya tunggu sejak kemarin!” Sang dukun mencium-cium udara seperti kucing sedang membaui ikan asin. “Tak salah lagi! Memang sampeyan orangnya.”
Mukti memperhatikan sosok di hadapannya dengan saksama. Pakaian orang itu serba hitam, rambut gondrong, kumis melintang, jenggot panjang hingga mencapai dada.