Mukti pulang dari kantornya di Pasar Pagi sambil uring-uringan. Perusahaan ekspedisi antarpulau miliknya yang sedang kembang-kempis akibat terlilit utang baru saja mengalami musibah. Kapal barang yang disewa PT Samudera Raya untuk mengangkut sembako menuju Bone karam di Laut Aru. Sepuluh awak kapalnya selamat, tapi kerugian yang dialami perusahaan mencapai lebih dari 5 miliar rupiah.
“Dasar kapal bobrok!”
Selama menembus Jalan Pangeran Jayakarta yang padat merayap Mukti terus menggerundel. PT Samudera Raya yang dibelikan bapaknya kemungkinan besar jatuh pailit sebelum akhir tahun. Perlu diadakan perombakan besar-besaran terhadap para pemegang kekuasaan, dan harus dimulai dari pejabat yang paling tinggi, yaitu dirinya sendiri. Mukti tersenyum masam. Bisa jadi dirinya memang tidak punya bakat jadi pengusaha seperti bapaknya.
Lampu merah menyala. Mukti mengerem tiba-tiba dan terdengar bunyi mencicit di belakang mobilnya. Dengan kasar Mukti menarik handrem, lalu menggeliatkan tubuhnya yang pegal, lalu ditepuk-tepuknya paha kanannya. Mukti punya banyak alasan untuk mengumpat, dan salah satunya situasi yang sedang dihadapinya. Macet, bising, dan saat menoleh ke samping terpandang olehnya penggonceng motor berpakaian rok mini duduk mengangkang.
Setengah jam kemudian Mukti tiba di apartemennya di daerah Kalibata, tak jauh dari makam pahlawan. Hari menjelang malam. Langit di belahan sebelah barat dipenuhi semburut merah dan jingga. Lampu-lampu trotoar mulai dinyalakan.
Seolah-olah tak ada waktu buat Mukti untuk mengatur napas, saat membuka pintu kamar, tunangannya sudah menunggu di sofa, dan Mukti tak bisa pura-pura tak melihatnya.
“Sudah lama?”
Bukannya menjawab pertanyaan, Yola justru menyambut Mukti dengan muka cemberut, bibir mengkerut, dan tatapan mata yang sama sekali tak ramah; seperti penagih utang bertemu pengutang yang sudah berkali-kali berhasil menghindarinya. Tanpa basa-basi, Yola langsung menyemprot Mukti.
“Kenapa teleponku tidak dijawab?”
Mukti mencopot sepatu, lalu melemparkannya ke mana saja. “Sibuk! Banyak kerjaan!”
“Sesibuk apa pun masa tak sempat menjawab telepon?” Yola tetap tak mengubah intonasinya yang jauh dari lembut.
Mukti tak menyahut, duduk di samping Yola, berniat mencium pipinya, tapi Yola menepisnya dengan kasar. Mukti menyeringai, lalu ganti mencomot rokok di atas meja, melolosnya sebatang, lalu menyulutnya.
Beberapa hari belakangan ini Mukti memang sengaja menghindar dari bertemu Yola; mencegah pertengkaran. Suasana batin Mukti sedang tidak mood. Bahkan, beberapa kali telepon dari ibunya sengaja diabaikannya. Hanya telepon dari bapaknya yang tak bisa Mukti hindari. Bisa-bisa bapaknya menyuruh orang untuk mencarinya, mengeceknya sedang di mana, sedang melakukan apa.