Jagad sedang menemani kakaknya jalan-jalan di sekitar kompleks perumahan. Yohana terlihat sehat. Pengobatan secara teratur ke dokter jiwa dan pengobatan alternatif lewat metode hipnotis sepertinya telah membuahkan hasil. Kunci penyembuhan para penderita gangguan jiwa terletak pada ingatannya. Selama Yohana tidak ingat akan mantan suaminya yang meninggalkannya ketika dirinya dalam keadaan terpuruk dan terluka, Yohana akan baik-baik saja.
Perihal kematian bapaknya di saat Yohana masih sangat memerlukan bimbingannya, sepertinya Yohana mulai bisa menerima. Beberapa kali Jagad mengajak Yohana menziarahi makam bapaknya. Di kompleks pemakaman yang dihuni oleh para pejabat penting yang sudah mati itu Yohana memang menangis. Namun, tak sampai histeris lalu mengamuk seperti beberapa bulan sebelumnya.
Jagad juga punya harapan berkaitan dengan kesehatan ibunya. Meskipun tidak mungkin sembuh total, obat parkinson yang mereknya sama dengan yang biasa dikonsumsi oleh petinju legendaris Muhammad Ali itu telah menampakkan hasilnya. Bu Nurdin sudah bisa melakukan berbagai aktivitas sederhana.
Tiba-tiba telepon seluler Jagad berdering; serta merta Jagad mematikannya. Namun, tak sampai satu menit kemudian, panggilan dari nomor dan nama yang sama kembali masuk. Seperti sebelumnya, Jagad segera mematikannya. Dia sedang “pacaran” dengan kakaknya. Tak mau diganggu oleh siapa pun.
Yohana berhenti melangkah, menoleh ke Jagad. “Mbok dijawab dulu! Siapa tahu penting!”
Telepon kembali berdering; Jagad mengangkatnya, ogah-ogahan. Wajahnya cemberut. Paling-paling gadis itu ingin ketemu. Pura-pura mengeluh ini itu.
“Halo? Kenapa? Kakinya masih --“ Jagad tak melanjutkan ucapannya. “Ma- maaf, Tante! Saya kira …. “
Penelepon dari seberang yang dipanggil “tante” oleh Jagad melanjutkan ucapannya. Jagad mendengarkan secara saksama. Ekspresi wajah Jagad tampak aneh; sulit dilukiskan dengan kata-kata: tegang, takut, cemas, serta perasaan lain campur baur jadi satu.
“Iya, Tante. Saya akan segera ke sana!”
Jagad menutup telepon, lalu mengantonginya ke saku celana training. Penampakan wajah Jagad tak berubah; tetap tak keru-keruan. Bahkan, Jagad hanya berdiri kaku seperti tugu.
Yohana mengernyitkan dahi. “Ada apa? Dari siapa?”
Jagad menjawab tanpa menoleh. “Mungkin ibunya Maya. Disuruh Maya meneleponkan.”
“Maya? Gadis ingusan yang pernah kamu ceritakan itu? Ngapain nyuruh-nyuruh orang menelepon? Memangnya tidak bisa menelepon sendiri?”
Jagad tak menjawab justru menghela napas dalam-dalam. Didekatinya Yohana, merangkul pundaknya, lalu mengajaknya berbalik arah. Selama menuju rumah mereka yang berada di ujung kompleks perumahan, bibir Jagad mengatup rapat-rapat seperti tutup panci presto. Yang diterima Jagad tadi berita duka. Kakaknya Maya meninggal dunia, dan Jagad bingung; tak tahu harus merasa bagaimana; sedih ataukah bahagia.
Setelah membuat beberapa pertimbangan dan perhitungan, Jagad memutuskan mengunjungi rumah duka; takziah sekaligus menemui Maya. Siapa tahu kedatangannya bisa sedikit mengobati rasa kehilangan Maya akan kakaknya. Bagaimanapun Jagad juga pernah merasakan kehilangan yang sama, bahkan dua kali, yaitu saat ayahnya dijebloskan ke dalam penjara dan waktu ayahnya dimasukkan ke dalam liang lahat. Sampai sekarang perasaan hampa akibat ditinggalkan orang yang mencintai dan dicintainya itu belum hilang sama sekali.
Ketika Jagad tiba di rumah yang besar dan megah seperti istana itu, sudah banyak pelayat yang datang. Mobil berderet-deret di jalan di depan rumah Pak Subayat; dari lampu merah ke lampu merah lainnya. Seperti yang lain. Jagad harus antre agar bisa bersalaman dengan tuan rumah yang sedang berduka.