Perayaan! Perayaan! Jagad mengajak Yohana dan Bu Nurdin wisata ke Ancol. Meskipun kekuatan fisiknya tidak bisa pulih seperti sedia kala, Bu Nurdin masih sanggup menyusuri pantai beberapa puluh meter, sementara Jagad dan Yohana mendampingi di kanan-kirinya. Puas menikmati ombak yang mendebur dan pasir yang menghampar, mereka ganti mengunjungi Kebun Binatang Ragunan. Yohana ingin melihat monyet dan buaya.
Setelah sekian lama pikiran Yohana mengembara ke mana-mana, Yohana terlihat sangat menikmati wisata keluarga yang sangat nyata itu. Semua hewan ingin dilihatnya. Saat melihat kelucuan kawanan monyet yang sedang berebut makanan, bibir Yohana tak jemu-jemu menyunggingkan senyum. Bu Nurdin juga turut menikmati suasana meskipun dari atas kursi roda yang didorong Jagad. Sebenarnya Bu Nurdin ingin berjalan sendiri. Namun, Jagad melarang; tidak ingin Bu Nurdin kecapekan.
Setelah puas menonton aneka satwa yang terpenjara di kandang masing-masing, Jagad, Yohana, dan Bu Nurdin ganti menuju Benhil; ziarah ke makam Pak Nurdin. Sudah cukup lama mereka tidak menengok kuburan kepala keluarga mereka.
Tiba di sebuah nisan yang dihias batu pualam warna putih, Yohana dan Bu Nurdin langsung membersihkan daun dan rumput yang berserakan di sekitarnya. Sementara itu, Jagad duduk terpekur di depan pusara bapaknya; seakan-akan sedang memberikan laporan; kewajibannya sebagai anak yang harus mikul dhuwur mendhem jero orang tua sudah selesai dia laksanakan. Nilainya sempurna.
Sebelum ditangkap lalu dijebloskan ke dalam penjara karena tuduhan menjadi dalang pembunuhan Pak Anhar, sepertinya Pak Nurdin tengah melakukan penyelidikan terhadap kebocoran keuangan PT Nusa Nesa. Jumlahnya mungkin banyak sekali; kemungkinan bisa untuk membeli lima kapal pesiar. Jagad sangat yakin dugaannya sangat masuk akal.
Sumber kebocoran itu bisa jadi berasal dari Departemen Keuangan PT Nusa Nesa. Modusnya sudah pasti dengan cara memanipulasi laporan jumlah keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan kecil di bawah naungan PT Nusa Nesa. Agar perbuatan korup itu bisa berjalan mulus, Kepala Departemen Keuangan kongkalikong dengan Kepala Departemen Human Resource Development. Supaya kejahatan kerah putih itu sempurna, keduanya berlindung di balik ketiak salah seorang dewan direksi. Agar perbuatan mereka bisa terbebas dari jeratan hukum, seorang pengacara yang andal mereka gunakan sebagai penasihat.
Rupanya penyelidikan yang dilakukan Pak Nurdin diketahui oleh salah seorang dari mereka yang lalu melaporkan kepada gerombolannya. Dugaan Jagad seperti itu. Maka, sebelum penyelidikan tersebut tuntas, gerombolan maling berdasi itu segera menyingkirkan Pak Nurdin.
Jagad tidak tahu pasti kenapa untuk menyingkirkan Pak Nurdin harus menggunakan cara yang berliku-liku seperti drama Korea. Berbelit-belit, tidak efektif, dan mubazir. Bisa jadi orang-orang itu sangat marah dan ingin menyiksa batin Pak Nurdin. Membuatnya jadi tontonan banyak orang selama persidangan berlangsung lalu membuatnya mendekam di dalam penjara dalam waktu yang sangat lama pastilah bakal lebih membuat Pak Nurdin menderita jika dibandingkan dengan langsung menembak jantungnya.
Tadi malam Jagad telah mencopot foto yang ditempelkannya di whiteboard. Jagad juga telah menyilangkan spidol merah tepat di wajah-wajah yang sedang tertawa bahagia itu, lalu membakar foto berukuran 10R itu di tempat sampah. Jagad juga sudah memusnahkan keempat KTP palsu miliknya. Jagad-jagad yang lain sudah tidak ada; tinggal tersisa Jagad dirinya; Jagad Semburat.
Sebelum memutuskan menjalankan rencana besarnya, Jagad sudah merancang semuanya sedemikian rupa. Semua risiko sudah dipertimbangkannya masak-masak; termasuk cara mengatasinya. Jika semua berjalan sesuai perhitungannya, mestinya semua aman-aman saja. Namun, konon, tak ada kejahatan yang sempurna walaupun selalu ada yang pertama.
“Aku akan mencincangmu, memakan jantungmu …!”
Jagad hanya tertawa ketika Redy mengancamnya. Jagad merasa sah-sah saja dirinya tidak melunasi kekurangan pembayaran uang darah yang dia janjikan. Redy tidak bisa membuktikan bahwa Pak Tedy mati akibat ditikam pisau seperti yang dikatakannya. Kendatipun ternyata ucapan Redy tidak bohong, menilik dari kengototannya ketika menuntut haknya, nasi sudah menjadi bubur. Jagad sudah telanjur memaki-maki Redy; menyumpahinya, mengata-ngatainya sebagai pembohong. Bisa jadi Redy menaruh dendam padanya.
“Anak setan! Aku akan mengubermu! Aku pasti akan menemukanmu. Meskipun kamu sembunyi di neraka!”
Silakan jika Redy mau melacaknya. Jagad tidak khawatir. Boleh lewat nomor hape. Boleh juga melalui nomor rekening. Paling-paling yang akan ditemukan Redy adalah Jagad Subekti, orang Bekasi yang sudah lama mati.
Perihal Pak Tedy, Jagad merasa orang yang telah dianggapnya sebagai omnya sendiri itu sangat pantas mendapat kehormatan menjadi orang pertama yang mati. Pak Nurdin pernah menceritakan kisah persahabatan antara dirinya dengan Pak Tedy kepada Jagad. Keduanya satu angkatan di Fakultas Ekonomi di sebuah perguruan tinggi terkemuka di Jakarta. Mereka sama-sama menjadi aktivis saat terjadi pergolakan politik pada periode awal berkuasanya rezim Orde Baru. Keduanya sama-sama digebuki aparat saat terjadi peristiwa Malapetaka Lima belas Januari, Malari, yang mengakibatkan 11 orang tewas dan Pasar Senen hangus terbakar.
Lulus kuliah, Pak Tedy mendaftar di PT Nusa Nesa, sebuah perusahaan yang saat itu bergerak di bidang tambang batu bara. Saat ada lowongan manajer, Pak Tedy mengabari Pak Nurdin yang waktu itu sudah bekerja di perusahaan tekstil milik orang India. Karena gaji di PT Nusa Nesa lebih besar, Pak Nurdin menerima tawaran Pak Tedy.
Dua puluh lima tahun kemudian PT Nusa Nesa berubah menjadi sebuah korporasi yang menggurita, bidang usahanya melebar ke mana-mana, dari hilir ke hulu. Pak Tedy dan Pak Nurdin yang sejak awal bergabung di PT Nusa Nesa ikut mendapat berkahnya. Karir mereka meroket hingga bisa menduduki jabatan puncak sebagai kepala departemen. Dari situlah permasalahan bermula.