DANTE

Dewanto Amin Sadono
Chapter #21

Bagian 21

“Mas Jagad senggang, kan? Tidak lagi sibuk, kan? Temani Maya beli kado, ya? Ada teman Maya yang ulang tahun!”

Begitu mendengar permintaan Maya dari seberang sana, Jagad langsung tersenyum. Pucuk dicita ulam tiba. Sudah berkali-kali Jagad menolak ajakan Maya dengan berbagai alasan. Kali ini Jagad akan mengabulkannya. Siapa tahu nanti ada kesempatan untuk mengeksekusinya.

Sejak kematian kakak dan bapaknya--botulinum itu telah bekerja sebagaimana mestinya--yang hanya berselang sehari, Maya makin banyak tergantung kepada Jagad. Terlebih lagi Bu Subayat juga mendukung ketergantungan itu. Ketika Jagad menjemput Maya ke rumahnya untuk keperluan yang dia lupa, Bu Subayat mengajukan beberapa permintaan. Bu Subayat minta tolong kepada Jagad agar Maya dihibur. Ditemani dan dijaga. Maya sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

“Tahukah, Nak Jagad?” Bu Subayat mengerling ke arah Maya. “Setiap hari nama Nak Jagad yang disebutnya! Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi!”

Maya tersipu-sipu. Pipinya merona, lalu cepat-cepat mencubit lengan ibunya. Jagad kurang lebih sama, lalu cepat-cepat membuang muka; memaki-maki dalam hati.

Menjelang siang, Jagad menjemput Maya dan menyuruh Maya menunggu di depan pintu gerbang, bukan di teras.

“Kenapa tidak langsung masuk ke rumah?”

“Tidak kenapa-kenapa?” Tidak mungkin Jagad menyebutkan alasan yang sebenarnya.

“Kalau tidak kenapa-kenapa, kenapa tidak ke rumah dulu?”

“Cerewet! Jadi minta diantar tidak?”

Jagad memakai mobil yang jarang dipakainya. Lalu lintas kota Jakarta sudah sangat mengerikan. Terjebak di kemacetan adalah sebuah siksaan batin yang tiada tara. Namun, berhubang lagi musim hujan, Jagad harus melawan kemalasannya, seperti halnya dia mesti mengalahkan rasa was-wasnya setiap kali mendatangi rumah yang menyimpan dua jejak kematian itu.

Maya mengajak Jagad ke Senen, lalu pindah Blok M, ganti ke Kasablanka, berkelok ke Senayan, dan menukik ke Gandaria. Dan, dari melihat gelagatnya, Jagad sangat yakin Maya masih bakal mengajaknya pindah ke pusat perbelanjaan lain. Permasalahannya, Maya berlaku seperti air di atas daun talas; tak punya pendirian. Maya terus mengganti-ganti kado yang akan diberikan kepada temannya: mula-mula Maya ingin membelikan jam tangan, lalu ganti kamera, terus ganti cincin, kacamata, hape ….

Kalau saja Maya pacarnya, Jagad pasti sudah meninggalkannya di tempat belanja yang pertama. Dasar kelakuan! Maya sudah mengajak Jagad muter-muter selama 1 jam, tapi tidak beli apa-apa. Atau melemparkan Maya dari atas jalan layang begitu Maya tersenyum tanpa dosa lalu mengajak Jagad pindah ke tempat lainnya. Meskipun begitu, selama perjalanan muter-muter seperti obat nyamuk bakar, Jagad tidak terlalu banyak menyumpah; hanya sesekali. Jagad justru merasa beruntung; punya banyak waktu untuk mematangkan rencananya yang belum ada.

Setelah seharian menjelajah tempat-tempat belanja di hampir seluruh wilayah Jakarta, menjelang sore barulah Maya menemukan tempat yang menurutnya cocok untuk membelikan kado buat temannya.

“Kita ke Tanah Abang aja. Beli baju! Biar bisa dipakai buat ganti. Daripada dibelikan barang-barang mahal tapi tak dipakai. Orangnya sukanya pakai kaus oblong. Itu pun kayaknya jarang ganti!” Maya tersenyum. “Abang belum capek, kan?”

Di Tanah Abang, Jagad kembali menemani Maya menjelajah dari toko satu ke toko lain, menyusuri lorong-lorong, berjalan dari ujung ke ujung, lalu kembali ke ujung. Untungnya kali ini Maya benar-benar membeli. Tidak seperti di tempat belanja sebelumnya; memegang, menunjuk, menanyakan harga, lalu pergi begitu saja tanpa menawar.

Maya membeli banyak sekali pakaian: baju santai, baju koko, baju batik, singlet, celana dalam, celana kolor, celana panjang, jaket, sajadah, dan kopiah. Jagad mengira teman Maya adalah seorang gelandangan yang tak punya pakaian sehingga perlu diberikan pakaian sebanyak itu. Bahkan dua celana jin itu Jagad yang memilihkan; atas paksaan Maya tentu saja. Namun, Jagad tidak ingin bertanya untuk memastikannya. Kalaupun perkiraannya benar, beruntung sekali gelandangan yang satu itu.

Maya menyuruh pelayan toko membungkus semuanya dalam kardus besar. Di dalamnya, Maya memberinya kartu ucapan ulang tahun yang ditulisnya di kertas yang dimintanya dari pelayan toko; entah apa isi ucapannya.

Selama menunggui Maya yang sedang menunggui pelayan toko, Jagad mondar-mandir, duduk-berdiri, menengok ke kanan, menoleh ke kiri, menekuri lantai, menengadah ke plafon. Di antara suara musik dari toko kaset, langkah kaki di sekitarnya, tawa di arah sana, teriakan di arah sini, Jagad merasa tiba-tiba ada sesuatu yang menyelinap ke dalam pikirannya. Semacam kesadaran, kontemplasi, atau entah apa namanya. 

Lihat selengkapnya