Dengan disopiri Maya, mobil meninggalkan restoran. Rencananya, Maya hendak membawa Jagad ke rumahnya. Sampai di sana, Maya akan menyuruh Mang Ujang mengantarkan Jagad. Pulangnya nanti, Mang Ujang biar naik taksi. Luka di telapak tangan Jagad cukup parah. Kalau dipakai untuk memegang stir, pasti bakal sakit sekali. Bahkan, bisa-bisa berdarah lagi.
Selama perjalanan, Jagad tidak banyak bicara. Sesekali dia meringis-ringis. Telapak tangannya terasa perih. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Sementara itu, seperti hape yang dimatikan volumenya, Maya terdiam seribu bahasa. Dia sedang berkonsentrasi penuh pada lalu lintas di sekitarnya. Maya terakhir kali menyopir mobil setengah tahun yang lalu.
Hujan turun cukup deras; Jakarta kedinginan. Aspal pun basah. Genangan tampak di mana-mana. Uap air memenuhi udara; membilas karbonmonoksida yang memenuhi pori-porinya. Lampu-lampu mobil dan sepeda motor bersaing terang dengan lampu trotoar dan cahaya baliho yang menari-nari.
Melihat Jagad bersandar lemas, Maya tak bisa menahan mulutnya. Dia khawatir terjadi sesuatu pada Jagad.
“Ke rumah sakit, saja ya, Bang? Lukanya biar diobati dokter!”
“Tidak usah!”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa.”
“Abang takut disuntik?”
Jagad menjawab pertanyaan itu dengan senyuman kecut. Maya pasti tidak bakal mengira tebakannya sungguh benar sekali. Sesaat kemudian Jagad ganti menanyakan kuliah Maya. Kalau nanti lulus mau kerja apa. Pilih melanjutkan mengurusi perusahaan bapaknya atau merintis usaha sendiri. Maya menjawab semuanya dan selancar jalan raya di Jakarta ketika lebaran tiba.
“Abang pernah kuliah?”
Jagad menggeliatkan tubuhnya. “Pernah. Tapi keluar semester tujuh!”