Bercerita adalah kegiatan sehari-hari yang lazim dilakukan para penghuni Lapas di belahan Bumi mana pun. Alasannya sangat jelas; bercerita tidak perlu modal; cukup berbekal mulut dan omong kosong.
Saya bisa mengarang dan sudah berkali-kali mengirimkan tulisan ke media meskipun belum ada yang dimuat. Prestasi fenomenal saya berupa naskah pidato untuk kepala sekolah yang dimutasi ke Pulau Seribu. Pidato itu sukses membuat para guru perempuan menangis terisak-isak.
Ketika ada lomba mengarang tingkat kota madya yang diadakan oleh dinas lingkungan hidup yang pesertanya siswa SMP/Mts, kemampuan saya kembali diuji. Hanya kali ini saya tidak berlaku sebagai peserta, melainkan pembimbing.
“Din, kamu saya ikutkan lomba mengarang, ya?”
Andini murid kelas VIII, berkulit hitam, dan sepatunya jebol di bagian jempol. Saya memilih Andini sebab terlihat sebagai anak miskin sehingga pantas menerima bantuan dari pihak mana pun; terutama gurunya. Saya sendiri bukan orang kaya, tapi sebisa mungkin saya ingin membantu orang lain dengan cara saya.
“Saya tidak bisa mengarang, Pak Guru,” jawab Andini waktu itu.
“Tidak apa-apa. Nanti saya ajari,” sahut saya, tersenyum.
Saya lalu mengajari Andini membuat karangan yang baik dan benar, sementara Andini siswa yang patuh. Andini menjalankan semua perintah saya. Dia mempelajari ejaan, frasa, kalimat tunggal, dan kalimat majemuk. Juga, membaca contoh-contoh karangan bertema lingkungan lewat internet sekolah. Selanjutnya, Andini menulis karangan sendiri dan saya yang menyuntingnya.
Tiba-tiba Dante memotong cerita saya. “Berapa kali?”
Saya agak bingung dengan pertanyaan itu. “Apanya yang berapa kali?”
“Menyuntingnya.”
“Ooo…” Saya memonyongkan mulut. “Tentu saja berkali-kali. Sampai karangan itu benar-benar bagus. Ejaannya benar. Tidak ada typo.”
“Pasti menang!” Dante tertawa. “Lha wong yang membuatkan gurunya!”
Sebulan kemudian hasil lomba mengarang diumumkan. Andini dinobatkan sebagai juara pertama. Saya sangat gembira. Teman-teman saya mengucapkan selamat. Kepala sekolah mengumumkan kabar gembira yang semu itu saat upacara bendera; para siswa bertepuk tangan; bergemuruh riuh. Kepala sekolah juga menugaskan saya untuk mendampingi Andini saat penyerahan piala dan hadiah lomba di pendapa kota madya.
Sebulan lalu saya memang berniat membantu Andini. Jika menang lomba, hadiahnya bisa dipakai Andini untuk beli sepatu, tas, atau keperluan sekolah lain. Itu sebelum saya ketemu Narno, teman masa kecil saya. Narno yang tinggal di kota lain datang untuk pinjam uang. Katanya, istri dan ketiga anaknya dirawat di rumah sakit.
“Paling lama dua minggu,” janji Narno.
Karena uang di kantong saya tidak ada meskipun sedang tanggal muda, saya memberanikan diri membujuk istri saya yang bengis dalam hal pengelolaan uang. Betapa, membiayai sekolah dua anak SMA ternyata bukan perkara yang gampang.