DANTE

Dewanto Amin Sadono
Chapter #24

Bagian 24

Besok Dante bebas. Dante akan menjadi manusia merdeka sementara saya masih harus mendekam di sini hingga sepuluh tahun yang akan datang. Saya mesti rela setiap malam dikeroyok kepinding. Darah saya diisap-isap, diicip-icip, membuat badan para kutu busuk itu gemuk sedangkan tubuh saya menjadi menjadi kurus kering seperti sebatang lidi.

Saya kudu puas makan nasi cadong yang dipenuhi kerikil. Sayurnya sop tanpa rasa. Lauknya ikan asin berjaket yang jaketnya lebih tebal dibanding isinya. Setiap malam susah tidur akibat terganggu suara genjrang-genjreng manusia lorong-- narapidana yang tak kebagian sel lalu tidur di lorong--yang main gitar dari Isya sampai Subuh.

Pada dasarnya Dante sudah menceritakan hampir semua kisah rahasianya kepada saya, tanpa ada yang ditutup-tutupi meskipun hal itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Sangat keterlaluan jika saya tidak mengimbangi dengan cara menceritakan rahasia yang selama ini tersembunyi di dasar hati ini. Paling tidak, jika sewaktu-waktu nanti saya mati di dalam penjara, sudah pernah ada yang mendengar kisah saya yang sebenarnya.

Pada hari yang jahanam itu saya datang ke kantor polisi dengan tangan dan pakaian berlumuran darah. Pisau dapur itu saya angkat tinggi-tinggi. Kepada polisi pertama yang saya temui, saya berteriak.

“Silakan tangkap saya!”

Polisi muda yang mungkin sedang semangat-semangatnya menjadi polisi itu langsung menyergap, merebut pisau, membanting saya ke aspal, menelikung kedua lengan saya ke belakang punggung, lalu memasangkan borgol. Seperti seekor kambing kurban, saya diseret ke ruang pemeriksaan. Si polisi muda lalu melapor ke polisi yang lain; dan entah apa yang dilaporkannya tentang saya, tak lama kemudian tiga polisi mengerubuti saya.

Saat itu juga saya di-BAP. Ditanya nama, umur, agama, alamat, dan profesi. Saya menjawab semua itu tanpa terbata-bata. Saya baru kebingungan ketika polisi berkumis tebal itu menanyakan perihal motif. Setelah sejenak berpikir, saya teringat salah satu larik puisi Chairil Anwar, “Bahkan dengan cermin pun aku enggan berbagi,” Lalu saya tiba-tiba mendapat inspirasi.

“Karena saya mencintainya, Pak!”

Si polisi berkumis tertawa, juga dua polisi lainnya. Dikiranya saya sedang membuat lelucon. Si polisi kembali bertanya dan jawaban saya tetap sama. Untungnya dia tidak jengkel meskipun tetap saja terlihat bingung.

“Yang benar, ah!” Si polis berkumis memandang saya. “Kalau jawaban Bapak seperti itu, di BAP harus saya tulis apa?”

Selama berjam-jam dan dengan berbagai cara, para polisi coba menguak motif pembunuhan yang saya lakukan, tapi saya tetap kukuh dengan jawaban saya semula. Ada yang marah; menganggap saya sedang mempermainkan hukum. Tapi ada yang senyum-senyum menganggap jawaban saya lucu. Barangkali karena hilang akal dan tak tega memukuli saya yang sudah tua, pada akhirnya Pak Petugas menuliskan motif pembunuhan sesuai yang saya ucapkan.

Jawaban tidak masuk akal itu pula yang saya berikan kepada Bu Hakim pada masa-masa persidangan. Bahkan, berharap hukuman saya nanti bisa tinggi, syukur-syukur setinggi harapan saya, kepada Bu Hakim saya mengaku telah merencanakan pembunuhan sadis itu.

“Kapan Bapak merencanakannya?”

“Sehari sebelumnya,’ jawab saya. 

Namun, jawaban itu saya ganti saat Bu Hakim mengajukan pertanyaan yang sama pada masa persidangan berikutnya. Jawaban itu kurang smart dan bakal menimbulkan kecurigaan dan memicu pertanyaan susulan. Meskipun demikian, berkaitan dengan kronologi pembunuhan, saya bergeming. Jawaban saya sama persis dengan BAP.

Lihat selengkapnya