DANTE

Dewanto Amin Sadono
Chapter #25

Bagian 25

Pada saat saya dan Dante baru datang dari jajan sekaligus berpamitan kepada para penghuni blok teroris, Gendon, teman kami satu sel yang dipenjara gara-gara membunuh bapak tirinya datang. Ekspresi wajah remaja berusia belasan itu terlihat sangat serius.

    “Baru saja ada yang mencari kamu!”

    Dante menunjuk dadanya. “Mencari saya?”

    Gendon mengangguk. “Iya! Napi pindahan dari Lapas Nusa Kambangan!”

    Dante mengerutkan kening. “Siapa? Siapa namanya?”

    “Wildan Kosasih!”

Saya melihat perubahan di wajah Dante. Dia terlihat tegang. Sorot matanya berubah menjadi dingin. Rahangnya tampak mengeras. Saya jadi penasaran. Ada hubungan apa antara Dante dengan Napi pindahan dari Lembaga Pemasyarakan Nusa Kambangan tersebut. Perpindahan Napi dari Lapas Nusa Kambangan ke Lapas Cipinang sudah biasa terjadi. Adakalanya untuk alasan keamanan dan keselamatan si Napi. Namun, lebih seringnya atas permintaan si Napi itu sendiri; demi kenyamanan. Tidak ada Napi yang suka dipenjara di Lapas Nusa Kambangan yang memang terkenal sangat buas.

“Kamu kenal?”

Dante mengangguk. “Si Gorila! Pembunuh bayaran yang mengeksekusi Pak Anhar!”

Saya mengeryitkan dahi. Mau apa si Wildan mencari Dante? Apa alasannya?

***

Hari ini kami meniadakan acara mengobrol yang sudah ribuan kali kami lakukan di pojokan lapangan mini Lapas Cipinang yang dikelilingi pagar kawat. Sebagai gantinya kami berbaring bersisian di dalam sel. Dante ingin merasakan berbaring di lantai sel yang keras dan dingin ini untuk yang terakhir kali.

Tadi saat sarapan Dante sudah pamitan dengan para Napi yang dikenalnya. Seperti biasanya, tatapan mata penuh iri mengiringi acara perpisahan itu. Hari ini Dante bebas. Sementara mereka, termasuk saya, masih harus mendekam di dalam penjara dalam waktu yang lama.

Saya dan Dante sama-sama menatap langit-langit sel yang kusam, berdebu, dan dipenuhi sarang laba-laba. Saya baru saja selesai membantu Dante mengumpulkan seluruh harta bendanya: pakaian, cinderamata dari teman satu sel, dan uang sumbangan dari teman satu blok yang biasa diberikan kepada Napi yang akan bebas. Dante mengumpulkan semuanya di dalam plastik ukuran besar yang dibelinya dari warung yang dikelola Ustaz Bisri. Dante menghibahkan semuanya kepada saya, lalu terserah mau saya apakan atau berikan kepada siapa.

“Pakaian yang kupakai ini, besok kularung ke sungai!”

Dante menyentuh baju dan celana jin yang sedang dipakainya. Kalau saya tidak salah dengar, Dante pernah mengatakan baju kotak-kotak dan celana jin yang sering dipakainya itu hadiah dari Maya.

“Aku akan sering-sering mengunjungi Bapak!” Suara Dante terdengar sedih. 

“Terima kasih!”

“Aku tidak akan pernah melupakan Bapak!” Tangan kiri Dante menepuk-nepuk lengan kanan saya.

Saya hanya mengangguk-angguk. Saya mencoba memercayai ucapan Dante, betapapun susahnya. Penjara adalah tempat berkumpulnya para pembohong dan orang-orang yang suka mengumbar segala macam janji. Segala jenis bunglon ada di sini. Mereka rela berubah menjadi warna apa saja asalkan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Seakrab apa pun dua orang Napi, persahabatan mereka hanya sebatas pintu gerbang penjara. Begitu yang satunya ke luar, “sahabatnya” harus rela melupakannya.

Apakah Dante akan seperti itu juga? Saya tidak tahu dan tidak mau tahu. Mestinya saya segera membuang jauh-jauh sentimentil yang mbelgedes ini. Air mata yang membasah di sudut-sudut mata ini juga tidak perlu. Dada yang terasa sesak ini juga tidak perlu saya pedulikan. Saya sudah terbiasa tidak punya siapa-siapa. Sebelum saya bertemu Dante dua setengah tahun lalu, saya sendiri saja dan tak kurang suatu apa.

Saya mmejamkan mata dan tanpa sadar kalaedoskop kenangan tentang Dante datang bertubi-tubi. Saat pertama datang ke sel ini, rambut Dante sudah panjang, tapi belum gondrong. Dante sudah lama tidak cukur. Katanya, nanti kalau keluar dari dalam penjara akan cukur gundul. Untuk buang sial. 

Pak Sarno beberapa kali mengunjungi Dante dan selalu membawakan makanan dan rokok yang sangat banyak. Dante menyerahkan pengelolaan saham-sahamnya kepada Pak Sarno, dan sangat memercayainya tanpa ragu. Tak sedikit pun tebersit pikiran di benak Dante bahwa Pak Sarno bakal mencuranginya. Saya hanya bisa tersenyum kecut melihat persahabatan yang total itu. Apa kabar sahabat saya yang ternyata bangsat itu?

Bu Nurdin dan Yohana rutin mengunjungi Dante. Saya pernah diajak Dante menemui mereka. Dante yang mengatur. Saat mendaftar ke petugas penerima tamu tahanan; Dante menyuruh Bu Nurdin mengatakan hendak menjenguk saya dan menyuruh Yohana menyebut hendak menemui Dante. Dengan demikian saya bisa ikut mencium udara yang dipenuhi parfum para penjenguk yang sedang berkumpul di ruangan keluarga Lapas Cipinang.

Saya menyalami Bu Nurdin dan Yohana dan mereka menyambut uluran tangan saya seakan-akan saya teman lama mereka. Keduanya tampak sehat. Kulit mereka cerah; tidak pucat. Kata Dante, setiap kali Yohana datang ke penjara, dia selalu minta didongengkan tentang para Napi dan Dante memenuhinya dengan senang hati. Yohana sangat senang mendengarkan dongeng tentang saya.

“Kak Yo sangat penasaran. Ingin tahu mengapa Bapak membunuhnya. Tapi saya tidak mau memberitahu.” Dante menoleh ke Yohana. “Kak, Yo! Coba sekarang tanya sendiri! Mumpung tokoh dongengnya sedang di sini!” 

Dante dan Bu Nurdin tertawa; Yohana tersipu-sipu; saya memaki-maki dalam hati. Selain ke Dante, saya sudah bersumpah tidak akan pernah menceritakan kisah itu kepada siapa pun. Buat apa? Hanya akan menambah luka yang masih menganga.

Maya selalu mengunjungi Dante; membawakan semua makanan yang diinginkan Dante; juga yang dibencinya. Dante tidak suka sayur pare; dan Maya mengirimkannya beberapa kali. Katanya, agar Dante sehat; tidak kena asam urat. Maya juga membawakan obat-obatan; segala macam obat. Katanya, buat jaga-jaga jika Dante sakit. Meskipun Maya begitu perhatian, Dante belum pernah mengatakan kepada saya bahwa Maya adalah pacarnya; alih-alih bakal menikahinya.

“Tunggu saja nanti! Biar waktu yang menjawabnya!”

Saya yakin Maya merasa sangat berutang budi kepada Dante. Maya pasti tidak tahu alasan Dante mengambil alih tanggung jawab yang sangat tidak masuk akal itu. Coba bayangkan! Menggantikan tempat orang yang seharusnya dipenjara. Paling-paling Maya hanya bisa menduga-duga: Dante kasihan kepadanya. Namun, saya punya teori sendiri yang menurut saya sangat akurat. Dante mencintai Maya. Hanya saja, Dante belum menyadarinya.

 “Aku akan mencari alamat teman kuliah Bapak yang kata Bapak sangat akrab itu. Aku akan mengabarkan kepada mereka bahwa Bapak di sini.” Dante menoleh, hingga bibirnya hampir mencium pipi saya.

Saya menggeleng. “Terima kasih. Tidak perlu.”

Waktu kuliah, saya punya lima teman yang sangat akrab, dan sampai beberapa sekarang masih akrab. Kami sering berhubungan melalui telepon. Bahkan, sesekali kami berkumpul; waktu lebaran. Terakhir kali sebulan sebelum terjadinya peristiwa yang menjijikkan itu. Alamat mereka tersebar di penjuru Nusantara. Bisa jadi mereka tidak tahu saya sedang mendekam di sini. Apalagi saya juga sudah tidak punya hape, dan tidak butuh. Apalagi saya juga tidak mau mereka tahu yang sedang saya alami. Saya tidak suka memamerkan tragedi.

Lihat selengkapnya