Gemericik riaknya masih menggiring kerikil, melompati bebatuan, menyampaikan dan menawarkan pada setiap makhluk hidup tentang harapan dan nostalgia. Air dan batu berbenturan dengan teratur. Liku-likunya masih seperti dahulu, dan masih tiada berhenti membenihkan kehidupan baru sementara kehidupan lama tidak serta merta berakhir. Demikianlah, Sungai menjalankan amanat dari penciptanya.
Lahir jutaan cerita dari darah nadi sungai. Cerita-cerita, dimensi terbatas yang sekokoh tebing sekaligus serapuh ranting, membekas dalam ingatan manusia, tetapi lebih banyak lagi yang tertinggal, tertimbun, atau menguap. Semua berdasarkan indah atau tidaknya cerita itu, penting atau tidaknya, bernilai atau tidak, mengandung hikmah atau tidak; sesuai kemauan manusia, si makhluk yang candu terhadap monopoli keberadaanya di dunia. Tetapi bagi Sungai, cerita tetaplah cerita, betapapun sedikitnya makna yang dapat diungkap lewat cerita itu.
Para arif bijaksana beranggapan, ketika manusia mencoba menjadi makhluk beradab, mereka melihat Sungai sebagai aliran air kehidupan dan karenanya cerita-cerita dibangun di tepi sungai. Mereka juga menginsafi tanpa rambang, Sungai telah ditakdirkan tertanam di telapak nadi manusia, turut menentukan nasib cerita. Entah manusia itu tengah tidur atau sadar, Sungai tetap terus berkelana, menyusuri garis-garis nasib mereka. Sesekali ia meluap, membanjiri, mendatangkan akhir. Namun jari-jemarinya terus mengucurkan air.
Ia adalah urat nadi semesta kehidupan. Suara riamnya adalah dawai surgawi. Bening airnya ialah mata bidadari.
***
Sudah seminggu Aloisius Santo kembali dari ekspedisi, namun letih badan sebab naik turun bukit belum pun hilang. Ia sadar bahwa usianya sudah hampir kepala enam dan sudah semestinya saran sang istri untuk tidak ikut ekspedisi ia dengarkan. Tetapi siapa yang bisa menafikan panggilan jiwa. Encok, rematik, pegal-pegal sekarang ini, meski begitu membuatnya menderita, hingga memaksanya berjalan atau bangkit dari duduk dengan tertatih-tatih, dianggapnya sebagai keletihan berkebun.
Ekspedisi itu mau tidak mau dilakukan karena PT. S yang keras kepala itu semakin kurang ajar.
Empat bulan lalu, Santo yang geram karena luasan sawit PT. S semakin mendekati kampungnya, mengirimi orang-orang terhormat pegawai negara di Jakarta sebuah surat. Isinya adalah keluhan pelanggaran HAM, pelanggaran undang-undang lingkungan, dan pelanggaran undang-undang soal tata ruang. PT. S melakukan semua itu. Bukit hendak digundulkan. Hutan adat tak dipedulikan. Sempadan sungai, apalagi. Kolong rumah masyarakat pun mereka masukkan ke dalam kawasan izin perkebunan. Dianggap apa masyarakat? Hantu?
Masalah semakin pelik sebab bupati justru mengeluarkan keputusan mendukung PT. S. Lebih dari sebelas ribu hektar dipersilakan untuk ditanami sawit. Itu sama saja dua puluh ribu lapangan bola. Padahal, jika ditilik benar-benar, tak sampai empat ribu hektar yang bisa perusahaan sawit jadikan perkebunan. Ada permukiman, ada bukit, ada kuburan, ada ladang, yang tak diperhitungkan. Bupati makan mentah-mentah peta yang disodorkan PT. S.
Bahwa ada komunikasi yang adil antara PT. S dan masyarakat kampung juga harus ditelusuri kebenarannya. Benarkah memang terjadi? Jika memang terjadi, komunikasi macam apa? Santo percaya komunikasi itu komunikasi “sagu hati”. Bicara sedikit, sodorkan dokumen untuk ditandatangani, dan di balik dokumen, timbul tebal tumpukan duit. Mungkin beberapa orang bertanya, “eh, apa ini?” lalu perusahaan akan menjawab, “hanya bantuan ala kadarnya. Mohon diterima. Ini dokumen sebagai tanda penerimaan saja”.
Siapa yang tidak senang meraup duit tanpa mesti berpeluh-peluh? Di balik itu, tiada yang paham dokumen itu adalah dokumen jual beli lahan. Duit yang diserahkan memang banyak, tapi jauh sangat kecil dibanding lahan yang hilang. Hanya dua ratus ribu per hektar!
Karena itu, kepada orang-orang terhormat di Jakarta, Santo lalu memohon-mohon agar si perusahaan sawit dicabut izinnya, atau paling tidak, diperiksa.
Entah bagaimana, PT. S, mengetahui aduan Santo. Perusahaan sawit itu menjadi berang. Mereka mengirim surat kepada Santo dan membela diri atas semua tuduhan-tuduhan. Bunyinya kurang lebih begini:
Kami, PT. S, tidak pernah melanggar peraturan. Semua keputusan, pemetaan, melibatkan masyarakat. Memang ada kawasan perkebunan yang masuk ke wilayah permukiman, tetapi masyarakat sudah menyerahkannya. Sudah diberi ganti rugi juga. Jika ingin terus menuduh, silakan menunjukkan bukti kepemilikan tanah atau keterangan bermukim.