DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #2

Ada Tamu Mau Datang #2

Segerombolan kelempiau bergelayut berjumpalitan di pokok-pokok rimba yang rindang untuk mencari makan. Mereka bertengkar berebut rambutan. Seekor kelempiau tertendang dan nyaris jatuh terguling ke dasar, tetapi beruntung sempat salah satu tangannya meraih batang pokok, membuat ranting hingga dahan berayun dengan lebih limbung dan dedaunan menggerisik lebih nyaring. Kelempiau yang terjatuh itu lalu kembali ke tajuk pohon dengan gesit. Sambil bertengger di salah satu dahan, ia memekik-memekik menggerutu. Yang lainnya balas memekik-mekik menertawakannya. Gerombolan itu lalu melanjutkan perjalanan, menyusuri pohon demi pohon buah, menyisir pinggir hutan yang berjabatan langsung dengan Desa Sakai.

Pekikan mereka membangunkan orang-orang di Desa Sakai. Benediktus bangun, lalu membangunkan Istrinya. Istrinya membangunkan anaknya. Anaknya, Umang, merengek-rengek, memekik-mekik pula seperti kelempiau yang tertendang. Benediktus tidur lagi.

Riuh sudah rumah itu. Kehidupan bermula. Anjing-anjing menggonggong mengejar tupai yang jatuh ke tanah. Lalat-lalat berseliweran di atas kepala anjing-anjing, menggerogoti koreng-koreng bekas perkelahian. Penduduk turun ke sungai, membersihkan badan dengan agak enggan. Dingin malam masih tersisa pada Sungai Ambalau sungai yang mengalir di depan desa.

Mata masih begitu berat ketika Benediktus ingat, hari itu okai-nya atau abangnya, Aloisius Santo, akan datang. Abangnya datang membawa rombongan. Tim ekspedisi, begitu sebutannya. Ia dikabari dua minggu yang lalu, saat singgah ke Kemangai, ibu kota Kecamatan Ambalau, untuk belanja berkotak-kotak rokok, berbungkus-bungkus gula dan kopi, serta mainan mobil untuk anaknya. Dan, hanya di Kemangai handphone-nya bisa bersinyal. Di Sakai, tidak ada satupun yang bisa menghubungi atau dihubungi.

Benediktus berharap ingatannya benar bahwa hari ini mereka datang. Tetapi ia kini ragu-ragu. Aloisusis Santo bilang, “hari kamis”. Nah, kamis ini atau kamis depan? Jika benar kamis di hari ini, mereka harus memasak banyak. Jika mereka sudah memasak banyak lantas ternyata tidak datang, habislah makanan yang banyak itu menjadi basi. Untuk diberikan kepada anjing-anjing pun terlalu banyak.

Terpaksa Benediktus mengenakan baju, menyiram seadanya wajah lonjongnya, tiada peduli dengan kumis yang tumbuh tidak beraturan, dan bergegas ke longboat. Pakaian yang dikenakannya tidak berbeda dengan ketika tidur: kaos oblong berwarna abu-abu dengan bercak lumpur di bagian bawah yang tidak dapat hilang walau direndam dengan sekilo diterjen dan celana basket berwarna jingga lusuh yang di bagian pinggangnya telah menyembul karet celana.

Tindak tanduk Benediktus diperhatikan istrinya yang sibuk menarik Umang ke pangkuan agar mau makan. Ketika Benediktus menjelaskan hendak ke mana dan untuk apa, bininya mencerocos, “Besok- besok, kabar penting itu kau catat.”

Setengah jam kemudian, setibanya di Kemangai, segera Benediktus menelepon Santo. Omelan lagi yang masuk ke telinganya.

Heh. Amoh kok ngigwak tolingan ni (ke mana kau taruh telingamu)?. Ini kami sudah di Pinoh. Sore sampai,” suara abangnya terdengar jelas di telepon. Benediktus mengangguk-angguk, lupa bahwa ia bercakap di telepon.

Pirak behtik paring kam ndah (berapa orang semua)?” tanya Benediktus.

“Dua belas behtik (dua belas orang).

“Arok tuuk kam ni (ramai sangat).

Lihat selengkapnya