Ketika Samuel dan Magdalena wafat, kepemilikan rumah diberikan kepada Benediktus. Ada tujuh orang anak yang berhak mewarisinya, namun karena hanya Benediktus yang masih menetap di Sakai, jadi ialah yang terpilih. Lagi pula ia yang termuda, wajar untuk mendapat warisan yang terbaik. Enam anak lainnya, tidak satupun lagi yang bermukim di Sakai. Masing-masing sudah menjalani hidup di kota-kota yang jauh. Ada yang di Miri, Sarawak. Ada yang di Banjarmasin. Ada yang di Balikpapan. Ada yang di Pontianak. Yang di Pontianak, ada tiga orang. Di antara ketiga orang itu, salah satunya adalah Aloisius Santo, anak keempat Samuel dan Magdalena dan satu-satunya abang bagi Benediktus.
Hubungan akrab mereka terjalin sejak kecil, karena hanya mereka berdua anak-anak laki-laki di keluarga tersebut. Sebagaimana anak laki-laki, mereka bertengkar juga saling menolong, dan semua itu berpagut-pagut menjalin ikatan yang luar biasa terik.
Di luar hubungan darah mereka, Benediktus mengagumi Santo sebagai orang yang berpendidikan tinggi, hal yang langka di Sakai. Santo sudah keluar dari Sakai ketika berada di bangku SMP, untuk sekolah di Sintang, di Pontianak, bahkan di Jakarta. Siapa yang tidak dikagumi jika seseorang sudah ke Jakarta? Jakarta adalah awang-awang, puncak dari segala kemasyhuran. Apalagi ketika Santo menjadi pegawai negeri. Luar biasa. Tidak ada yang dapat menahan Benediktus untuk membicarakan itu setiap hari selama sebulan. Setiap obrolan, di lanting, di rumah, di kantor desa, dalam keadaan sadar atau di bawah pengaruh arak, selalu yang keluar dari mulutnya adalah, “Sudah kau tahu? Santo jadi pegawai negeri!”