DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #4

Di Hovong #4

Dekat sore, semakin ramai orang berkumpul di rumah Benediktus. Ada yang sibuk membantu, ada yang berbincang-bincang, ada yang bingung. Anak-anak bermain di halaman depan, berkejar-kejaran, membuat suasana lalu-lalang orang-orang semakin tidak karuan.

Hovong sudah berdiri di depan rumah Benediktus. Gapura penyambutan itu dipasangi pelepah kelapa di bagian atasnya dan dilintangi kayu jelutung sebesar lengan di tengahnya. Pada kayu yang melintang, digantung sebuah kain. Kain itu ditempeli gigi beruang dan babi hutan. Sebenarnya itu sudah cukup, namun Benediktus ingin lebih mewah. Ia bawa keluar takui darok atau caping hias, membeli beberapa gorengan, rambutan, dan seikat pete, lalu menggantung semua itu di hovong.

Dengan suara paling berwibawa yang bisa ia buat, dipintanya orang-orang berkumpul di belakang hovong. Para pemusik diminta untuk meletakkan gendang dan gong tidak jauh dari hovong. Ia sendiri yang memastikan bahwa para pemusik sudah berlatih dengan benar. Sekali dua kali gendang dan gong dipukul, untuk mendengar sudah padukah suaranya.

Hovong menghadap ke Sungai Ambalau, tepat di tangga sederhana tempat tamu-tamu akan meniti ke darat setelah turun dari speed boat. Di seberang sungai, bukit-bukit menjulang menutupi langit barat. Dua ekor elang berputar-putar naik turun di puncak bukit menandakan hendak kawin. Sementara itu matahari terus turun, bersembunyi di belakang bukit. Hanya biasnya kini yang tampak, memamerkan bukit serupa batuan besar hitam nan kokoh menjulang.

Rombongan yang dinanti tiba juga ketika hari mulai gelap. Benediktus menyuruh dua orang remaja tetangga untuk membantu membawa barang-barang bawaan penumpang. Letih muka tampak pada tamu-tamu. Sebagian besar masih muda. Hanya Aloisius Santo, orang yang paling yang dikenalnya, yang masuk dalam kategori tua.

Kotambung, gendang kecil, dipukul. Gong dipukul. Tak-tuk, tang-gonggg. Anak-anak berlari-lari ke hovong. Umang anak Benediktus paling cepat larinya, hampir terjatuh sebab tersandung akar beringin. Ia tidak peduli. Kepalanya terus mendongak, mencari-cari mana Santo pamannya.

Lihat selengkapnya