Tidak ada listrik negara di Sakai. Jarak Sakai dengan pembangkit listrik terdekat adalah puluhan kilometer dan orang perusahaan listrik tampaknya tidak berkenan menghabiskan anggaran untuk mengalirkan listrik bagi beberapa ratus rumah saja di pelosok. Sudah jauh, tidak ada jaminan keuntungan pula. Karena itu, hampir setiap rumah di Sakai memiliki genset. Listrik didapat dari mesin berbahan bakar bensin itu.
Genset di rumah Benediktus terbilang besar, cukup untuk menyalakan lampu teras, tengah, dapur, WC, dan tentunya televisi. Bila semua lampu berikut televisinya menyala dalam waktu tiga jam, itu artinya lima liter bensin yang diperlukan Benediktus. Untuk malam ini, ia sudah menyiapkan delapan liter. Tiga liter ia simpan di dalam jeriken. Santo sudah menjanjikan akan mengganti semua biaya yang dikeluarkan Benediktus untuk berpuluh-puluh liter genset, sekarung beras, sayur mayur, apapun yang diperlukan bagi rombongan. Jadi, Benediktus tidak pikir panjang untuk mengeluarkan semua uang yang dipunyai.
Makan malam telah dihidangkan dan dalam sekejap, ludes tidak bersisa. Selanjutnya, di antara puluhan orang Sakai yang penasaran dan duduk melingkar berdesakan, rombongan memperkenalkan diri.
Santo menjadi pembawa acara, menjadi penghubung antara rombongan dan orang-orang Sakai. “Kedatangan rombongan ke sini, untuk meneliti. Meneliti macam-macam. Biar mereka memperkenalkan diri. Nah, silakan berdiri…”
“Saya Adi, peneliti primata.”
“Apa itu primata?”
“Monyet, kelempiau, orangutan, itu masuk primata, Pak.”
“Hah. Tak usah jauh-jauh. Ini nah monyetnya, pakai baju hijau,” seseorang berseloroh mengejek orang Sakai di sampingnya.
Hahaha.
“Saya Dwi, peneliti burung”
“Burung siapa?”
“Burung terbang, Pak. Bukan burung di celana.”
Hahaha.
“Larry, peneliti pembangkit listrik mikrohidro.”