Ketak-ketuk langkah di lantai papan membangunkan Nadi. Ia lihat kanan-kiri dan mendapati kawan-kawan peneliti yang sekamar dengannya masih mendengkur di dalam kantong tidur. Ia putuskan untuk bangkit, ke kamar mandi, dan keluar rumah. Sempat di ambang pintu ia ditubruk Umang, anak Benediktus, yang berlari ke sana ke mari, entah apa yang dikejar. Ibunya terus menyapu lantai, tidak hirau dengan kelakuan anaknya. Kiranya, langkah kaki kecil itulah yang membangunkan Nadi.
Hawa pagi terasa cukup dingin, namun matahari sudah mengibas-ngibaskan kabut. Nun jauh di tepian hutan, suara kelempiau bersahut-sahutan. Nadi mengambil tasnya, memastikan buku, pulpen, pensil, rokok dan kamera ada di dalam tas, lantas keluar menyusuri jalan semen satu-satunya di kampung itu. Ia menganggukan kepala dan tersenyum pada siapapun yang berpapasan dengannya. Orang-orang berlalu lalang ke sungai, menenteng handuk, gayung, atau menggendong anak.
Di mana kota yang bisa menandingi kesegaran udara pagi desa yang terletak di kaki bukit, dikelilingi hutan, dan didampingi sungai? Sebanyak mungkin Nadi menghirup udara, seakan ia sedang mencuri udara tersebut. Kesegaran menyeruak melewati pembuluh darahnya dan ia merasa dapat hidup seribu tahun lagi.
Selama menyusuri jalan, yang menjadi perhatian pertamanya adalah bentuk rumah-rumah. Memperhatikan apa yang dilakukan orang di pagi hari dan bagaimana pola bangunan tempat tinggal, bagi Nadi, merupakan langkah pertama dalam menguak lika-liku cara pikir, budaya, karakter, sekelompok orang.
Hampir semua dinding rumah berbahan papan. Pilar-pilarnya terbuat dari pokok belian, kuat sekeras besi. Rumah-rumah itu serupa rumah panggung, tidak ada lantai yang langsung menempel ke tanah. Semua ditopang oleh pilar dan di setiap pilar penopang, dapat terlihat garis yang terbentuk dari air pasang. Garis paling tinggi hampir menyentuh lantai rumah dan masih tampak baru, menandakan pasang air yang cukup tinggi baru terjadi beberapa bulan lalu di sini.
Tidak ada rumah panjang seperti yang pernah Nadi temukan di pemukiman Dayak Iban atau Kayaan. Semua adalah rumah personal, bukan komunal. Sebuah analisis sederhana terbersit. Dalam tinjauan antropologi maupun sejarah, Uud Danum selalu disebut merupakan salah satu etnis tertua. Karena itu, akan ada dua kemungkinan. Yang paling kuat mempertahankan tradisi atau yang paling cepat menyerap pemikiran dan budaya luar. Yang ada di sini adalah kemungkinan kedua, setidaknya, begitu anggapan Nadi sejauh ini. Rumah panjang merupakan simbol rantai gotong royong yang begitu ketat, sementara rumah personal, acap kali mengurai tali temali gotong royong tersebut. Hidup menjadi lebih individual.
Tapi, ia belum lagi sehari. Tidak pantas sebuah keputusan analisis diambil.
Di depan hampir semua rumah, terpancang patung pahatan. Dari bentuk dan tingginya, tampaknya ada dua kategori patung. Yang pertama, patung dengan tinggi sekitar tiga meter dan berbentuk manusia. Bentuknya tidak sama antara satu patung dan patung yang lain. Ada yang berbentuk seorang lelaki yang memikul keranjang, ada yang berbentuk seorang perempuan menggendong anak, ada juga yang terdiri dari kepala, badan, dan kaki saja tak jelas golongan gendernya.
Patung-patung manusia tersebut disangga oleh bagian berbentuk tempayan, dan di bawah tempayan atau bagian paling pangkal, adalah motif-motif binatang. Anjing, ular, atau burung.
Patung jenis kedua lebih tinggi sekaligus lebih sederhana. Lurus menjulang, tidak ada ukiran dan motif apa-apa. Hanya, di bagian paling atas, paling puncak, bentuknya tumpul dan bulat. Seperti korek api model raksasa.
Semua patung terbuat dari pokok belian, kayu yang dikenal sekeras besi itu.
Nadi mencatat hal-hal yang nantinya akan ia tanyai pada siapa saja yang mengerti.