Malam hari, bersama Taufan, Nadi terlibat dalam percakapan intelektual. Mereka membicarakan kemungkinan keberadaan suku Uud Danum secara historis. Tidak ada tempat bagi Benediktus untuk menimbrung karena ia tidak mampu menerima segala macam cerita yang memperumit akal.
Dibanding Dayak Iban, Kanayan, Kayaan, atau Ahe, suku Uud Danum seolah bagian sejarah yang baru lahir. Sangat tidak sebanding catatan-catatan ilmiah ataupun tidak ilmiah yang membicarakan Uud Danum dengan sejarah panjang suku ini. Dalam hampir semua catatan yang sedikit itu, selalu disebutkan bahwa Uud Danum merupakan satu di antara suku awal yang bermukim di Pulau Kalimantan. Paling banyak, mereka bermukim di Kalimantan Tengah. Sebab itu, Kalimantan Tengah disebut dengan tanah Tambun-Bungai, tokoh-tokoh dalam epos Tahtum, satu di antara sastra lama Uud Danum. Di Kalimantan Barat, sebagian besar komunitas mereka menempati Kecamatan Serawai dan Ambalau, Kabupaten Sintang.
Keberadaan suku Dayak di Kalimantan diperkirakan telah ada pada saat umat manusia mulai mengenal logam. Bergelombang-gelombang, dalam kurun waktu ratusan bahkan ribuan tahun, nenek moyang mereka berpindah dari Yunan di daratan Tiongkok sana. Sebagian tercecer di Filipina, atau Thailand, atau Burma, atau Sumatera. Sebagian sampai di Kalimantan.
Mereka yang tiba di Kalimantan, menjadi suku moyang beberapa kelompok sub suku. Terdapat beragam silang pendapat soal suku awal ini. Ada yang beranggapan bahwa awalnya terdiri dari tujuh suku. Ada juga yang menyebutkan sepuluh. Ada juga yang menyebutkan tiga belas. Tetapi, dari semua anggapan itu, Apu Kayaan, Iban, Klementan, Murut, Punan, dan Uud Danum selalu masuk namanya. Lantas, suku-suku tersebut terbagi lagi dalam banyak anak suku. Anak-anak suku tersebut, terbagi lagi, sampailah mencapai tiga ratusan kekeluargaan. Bagai sulur beringin yang berjuntai-juntai. Uud Danum sendiri diperkirakan memiliki anakan lebih dari enam puluh suku.
Orang-orang Uud Danum, kebanyakan bermukim di wilayah hulu sungai-sungai, terutama di sekeliling bukit kembar di tengah Kalimantan, yakni Bukit Baka dan Bukit Raya. Lepas tahun sembilan puluhan, kedua bukit tersebut, bukit-bukit kecil di sekitarnya, juga kawasan hutan sekelilingnya ditetapkan oleh pemerintah negeri menjadi taman nasional.
Dulu, kampung-kampung Uud Danum bermukim lebih ke dalam, di dataran tinggi di bukit-bukit. Kemungkinan alasannya; agar tidak mudah diserang suku lain. Alasan lainnya; karena hewan buruan banyak yang bisa didapat dan tanah tidak menolak ditanami. Setelah perjanjian Tumbang Anoi disepakati, perlahan-lahan mereka keluar area. Pemukiman mereka lebih ke dataran rendah, namun tidak akan jauh dari hulu sungai.
Karena mereka adalah Uud Danum.
“Uud berarti penjaga. Danum berarti air,” Nadi menutup penjelasannya. Taufan mengangguk paham sekaligus mengangguk ngantuk.