DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #8

Hurung Haras Himbak #8

Pias air terjun menerpa wajah-wajah mereka, rombongan tim hutan, ketika melewati Nohkan Songumang. Nohkan berarti air terjun. Air terjun itu tidak terlalu tinggi, namun cukup lebar dan air yang tumpah begitu melimpah. Derunya bergemuruh, menggoncang telinga dan dawai jiwa. Di sekitarnya, bebatuan dan pepohonan telah berbalut dengan lumut. Aroma lembab yang begitu kuat mengendap dalam tanah dan udara.

 Agak jauh dari air terjun, Santo meminta berhenti sejenak. Ia kemudian berembuk dengan penunjuk jalan mengenai jalur yang akan dilewati. Arah mereka adalah Liang Selinep, bagian lembah bukit di Utara.

 “Sebaiknya kita memutar saja. Lewat sungai. Tidak perlu langsung tembus hutan,” usul Santo dalam bahasa Uud Danum.

 Rupung si pemandu, bertubuh legam akibat terlalu sering terpapar matahari, kurus namun otot-otonya timbul seperti bebatuan sekepal tangan, berkata lain, “Kalau memutar, baru sore kita sampai.”

 Yang lainnya hanya mendengar debat mereka berdua sebab sama sekali tidak paham lokasi dan tidak paham bahasa Uud Danum.

 Santo mengetuk-ngetuk kepala ayam yang mulai kelaparan. “Tapi, di sungai, bisa kita temukan banyak burung. Sekalian, langsung Dwi ambil bahan penelitiannya. Barangkali, ada monyet ekor panjang juga.”

 “Ini sudah mulai siang. Tidak mungkin ada binatang.”

 “Apa salahnya mencoba. Kita pun tidak terburu-buru.”

 Rupung mengalah. Niat tersembunyinya untuk mengumpulkan gaharu dari hutan terpaksa diurungkan.

 Berbondong-bondong mereka menyusur bantaran sungai. Pohon-pohon kensurai yang tinggi, merunduk ranting-rantingnya, membentuk kanopi sepanjang sungai. Bunga-bunga kensurai, yang berkelopak seperti bintang, sesekali jatuh berputar-putar anggun. Kadang, terlihat muncul dari permukaan sungai, ikan-ikan melompat menangkap bunga-bunga itu.

 Beberapa burung raja udang terbang dengan cepat lalu hinggap di pucuk ranting. Dwi mengeluarkan kamera dengan lensa panjang dan memotretnya. Berkali-kali, hingga kadang ia terpaksa berendam untuk mencari sudut pandang yang paling bagus.

 Di atas kepala mereka, melintas burung putih. Ekor panjangnya berjela-jela. Dwi memotretnya juga. Rupung menjelaskan bahwa itu adalah burung iram (Cica-Kopi Melayu), dan arah terbangnya menentukan nasib.

Lihat selengkapnya