DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #10

Mahakarya #10

Puhtir masuk ke rumahnya nan sederhana. Ia dapati neneknya tengah menunduk-nunduk menganyam tikar di ambang pintu belakang. Nek Ga melihatnya dengan mata menyipit, memastikan siapa yang masuk.

“Arok kok nohtok kaca mahtak le Puhtir (ada kau lihat kacamata aku, Puhtir)?” tanya Nek Ga setelah yakin di hadapannya adalah cucunya.

“Taai. Amoh poh tihkas a? (Tak tahu. Taruh di mana)?”

"Ndoi taak tihkas a rih, yam kuk ngisok (Kalau aku tahu taruh di mana, tidaklah aku bertanya).”

“Sudah cari di dekat sungai?”

“Aih. Sepertinya di sana.”

Si nenek bangkit, lalu keluar rumah menuju lanting kecil tempat mereka biasa mandi dan mencuci baju. Kacamata dengan bingkai coklat yang dicari, ditemukan di sela dua batu, tempat ia biasa menaruh peralatan mandi saat turun ke sungai. Ia kembali lagi ke rumah, menekuni anyamannya. Kali ini dengan tidak terlalu merunduk-runduk.

Rumah Puhtir terletak di kaki bukit. Halamannya ditumbuhi berderet-deret pohon rambutan. Tidak jauh dari situ, terdapat sungai kecil. Suara riciknya terdengar mengalun-alun. Siang yang begitu terik lesap dalam suasana damai dan rimbun. Dua-tiga tupai berjumpalitan dari ranting ke ranting di pohon-pohon rindang. Ketika Puhtir tiba di hadapan rumah, ia memerhatikan mereka sejenak. Tupai-tupai itu juga memerhatikannya. Puhtir tersenyum. Tupai-tupai bersuara, berkata, “Andai kami bisa tersenyum seindah kamu.” Tapi yang terdengar hanyalah decit-decit menyamai decit tikus.

Tidak seperti rumah Benediktus yang cukup besar, rumah ini hanya memang cukup untuk Puhtir dan neneknya. Dinding triplek menjadi penyekat antara ruang tengah dan kamar. Lantai terbuat dari papan belian. Tidak banyak perabotan. Di ruang depan, sekadar berisikan tikar, kalender, caping, dan meja kecil tempat menaruh tumpukan buku-buku. Di bagian pojok dekat pintu belakang, tempat Nek Ga sedang menganyam, terdapat beberapa keranjang yang berisi parang, kayu, dan macam-macam perkakas untuk berladang. Di dapur, terdapat kompor juga keranjang-keranjang yang berisi beras, sayur, dan berbagai bumbu.

Puhtir tidak datang seorang diri. Ia turut mengajak Nadi.

“Aku kira, Sakai bukan hanya rumah Pak Bens. Kalau saja ada orang yang mau mengajak main ke rumahnya,” pancing Nadi pada Puhtir setelah beberapa hari mereka hanya melakukan percakapan di rumah Benediktus dan ladang. Dengan cara itu akhirnya Puhtir mengajaknya ke rumah.

“Membuat apa Nek?” tanya Nadi sambil duduk bersila di depan Nek Ga. Perempuan tua itu sempat terkejut karena mengira Puhtir pulang tanpa berkawan seperti biasanya. Ia menoleh pada yang bertanya, dan lalu tersenyum setelah mengenali wajah yang mengajaknya berbicara. Antara perempuan tua itu dan Nadi telah menjadi akrab sebab berkali-kali Nadi mengunjungi ladangnya. Ladang memang tempat yang menyenangkan untuk bercakap, namun tidak setiap hari orang Sakai ke ladang. Selain itu, orang ke ladang karena ingin berladang, bukan bercakap-cakap.

“Ini, takui darok,” jawab Nek Ga agak kurang jelas. “Hanya untuk hiasan saja, bukan dipakai ke ladang.”

Tangan Nek Ga menunjuk dua takui darok yang terpajang di dinding. Tidak puas hanya menunjuk, Nek Ga lantas bersusah payah bangkit, mengambil kedua takui darok itu.

Kegiatan menganyam Nek Ga sepenuhnya terhenti, berganti dengan upaya untuk menerangkan pada Nadi apa saja mengenai takui darok. Nadi bersusah payah mencerna setiap penjelasan Nek Ga, yang dibuat dalam bahasa campur aduk, bahasa Indonesia yang patah-patah, dan bahasa Uud Danum. Sementara Puhtir, orang yang diharapkan dapat menjadi jembatan kerumitan komunikasi ini, sedang bergerak ke hidangan makan siang.

Sebuah takui darok kadang dapat diselesaikan selama setahun karena pembuatnya harus memanjangkan rambut terlebih dahulu. Nek Ga berbicara panjang tentang segala filosofi-filosofi dari takui darok. Nenek itu bahkan harus masuk ke dalam kamar dan kembali dengan membawa sirih dan kapur untuk dikulum, menandakan bahwa begitu kerasnya ia memeras otak.

Bagaimanapun, Nadi berhasil mencatat beberapa hal penting. Misalnya, soal motif. Motif takui darok dibagi dalam tiga bagian. Luar, tengah, dan puncak caping. Masing-masing bagian memiliki motif tersendiri. Bagian paling luar, yang melingkari bagian tengah, dinamai motif Liak Lendai. Bentuknya selang-seling seperti akar-akar pohon di tengah hutan lebat yang berjurai-jurai. Ada juga motif Mahtan Punoi, Liak Sambon, dan macam-macam lagi. Bagian inti, di puncak takui, motifnya lebih mengesankan dan lebih sulit dibuat. Ada Dolak Hendak, Leong Pahku, Mahtan Ondo. Motif yang terakhir berarti “matahari”, meski penampakannya lebih menyerupai rambut kusut, melingkar-lingkar membingungkan sekaligus menawan.

Hanya ada tiga warna yang digunakan, merah, hitam, dan warna asli rotan yang digunakan dalam motif. Ada juga kancing-kancing, disusun menyerupai segi tiga atau segi empat, atau segi lima, dilekatkan di beberapa titik di atas motif. Paling khas adalah adanya surai rambut.

Puhtir telah menyelesaikan suapan terakhir dan bergabung dengan Nadi dan Nek Ga. Ia bercakap-cakap dengan Nek Ga, kemudian beralih kepada Nadi.

Lihat selengkapnya