Di Danum Tahto, hiduplah sepupu Pongota bernama Songumang. Saat Pongota si buok jatuh, Songumang sedang sendirian di dalam rumahnya yang dinamainya Ramang Hitan. Hawa begitu gerah dan panas, padahal hari masih begitu pagi. “Ada apa di hari ini?” tanyanya pada diri sendiri. Ia pun pergi ke sungai untuk merendam diri. Tengah melangkah menuju sungai, Songumang melihat tanaman sawang hutung atau sawang merumang jatuh sehelai daunnya. Tepat di kakinya. Itu petanda telah terjadi sesuatu. Dirinya pun diliputi cemas seketika. “Pasti telah terjadi sesuatu pada adik-adikku.”
Maka, Songumang mengeluarkan segenap kemampuannya dalam meramal, dan ia temukan ada satu sinaran jatuh di dekat pohon sawang di kaki bukit. Segera lelaki itu bergegas, lupa sepenuhnya pada niatan semula hendak mandi.
Ia pun menemukan Pongota, juga seorang bayi.
Kedua jasad itu dibawa Songumang ke Ramang Hitan. Dibaringkan di dipan, dan disucikan dari segala kotoran dan noda. Songumang lalu pergi bertapa ke bukit, dan setelah bermalam-malam, kembali ke Ramang Hitan dengan membawa Danum Kohoringan Bolum; Air Kehidupan. Air itu ditampungnya dalam labu kecil, cukup untuk dua tegukan. Sampai di Ramang Hitan, lekas Songumang meneteskan air kehidupan pada mulut Pongota. Setengah hari kemudian, Pongota menarik napas pertamanya bagai bayi yang lahir. Air lalu diteteskan lagi ke mulut jasad anak Pongota. Setengah hari selanjutnya, anak itu juga kembali hidup.
“Terima kasih, Okai,” tutur Pongota setelah nyawanya sepenuhnya kembali.
“Apa yang membuatmu terlempar begitu jauh?”
Pongota baru saja hendak membuka mulut, namun Songumang menarik kembali pertanyaannya. “Tidak, tidak layak aku bertanya. Itu adalah kisahmu, dan jika kau ingin berkisah, kisahkanlah. Tapi jangan dengan dasar bahwa aku telah bertanya.” Pongota menimbang-nimbang kebijakan Songumang, lantas memutuskan untuk menyimpan kisahnya di dalam diri sendiri. Ia menghargai hubungannya dengan Sengalang dan tidak ingin Sengalang dijatuhkan dendam akibat perbuatannya. Bagaimanapun, apapun yang dilakukan Sengalang adalah ketidaksengajaan. Ia tahu itu, dan ia memaafkan tanpa harus diminta. Tetapi, bisa jadi sepupunya ini, Songumang, berpikir lain.
Pongota dan anaknya selanjutnya dipersilakan tinggal di Ramang Hitan. Anak Pongota, bayi laki-laki yang gempal dan merah, dinamakan dengan Rupung.
Suatu hari, setelah sekian lama Pongota dan anaknya tinggal di Ramang Hitan, Songumang memanggil Pongota. “Aku sangat senang bisa berkumpul dengan saudariku, tetapi aku juga harus berpikir bijaksana. Aku tidak ingin mendengar ada yang berbisik-bisik bahwa di rumah ini ada anak yang tidak diketahui siapa bapaknya, dan bisik-bisik bisa menjadi buih racun yang menodai seluruh sungai. Rupung sebentar lagi akan berlari-lari ke luar rumah dan akan dijumpai oleh banyak orang. Aku ingin kehormatanku terjaga, kehormatanmu juga terjaga, dan anakmu bisa hidup dengan nyaman.”
Pongota mengerti maksud Songumang. Ia mengangguk dengan sopan. “Terima kasih, Okai.”
“Sudah ku sediakan rumah untuk kalian berdua di hulu sungai. Kau bisa menyebut rumah itu dengan nama Nusak Manyang.”
“Terima kasih banyak, Okai.”
Sementara di Balash Bulow, Sengalang begitu kehilangan Pongota. Ia sulit untuk tidur dan makan. Ia berusaha memimpikannya, namun bahkan bayangan buok atau Pongota tidak juga merasuk ke dalam mimpi-mimpinya, dan itu membuatnya semakin sengsara. Ia berharap Pongota masih hidup. Mungkin dengan bekas luka di kepala. Tapi itu tidak akan mengurangi sedikit pun kasih sayangnya.
Bagaimana jika ternyata mati? Ah, memikirkan ini semakin menjadikan jiwa Sengalang tercabik-cabik. Ia diselimuti sesal, rasa bersalah, sekaligus kerinduan yang dalam.
Sudah ia cari-cari, ia kerahkan pasukan pergi ke dalam hutan, ke puncak bukit, ke dasar sungai, tidak juga ditemukannya. Sungguh, pikirannya tidak dapat menghindari untuk tidak memikirkan buok. Benaknya terus dipenuhi pertanyaan, di mana jatuhnya buok. Baiklah jika memang harus buok itu mati, dan ia memang bersalah, namun di manakah jasadnya. “Setidaknya, biarkan aku menguburkannya, agar sesalku bisa kuobati,” tutur Sengalang dalam hati.
Keputusasaan, waktu demi waktu, terus menjalar dalam diri Sengalang. Akhirnya, dengan hati yang sarat rasa malang, Sengalang memutuskan untuk pergi mengayau, memenggal kepala. “Bila memang ia mati dan tak kutemukan dirinya, biar aku sertakan kahasuk, pesuruh, yang akan menemani arwahnya,” janjinya pada diri sendiri.
Berkelanalah lelaki sakti itu mendatangi tujuh kerajaan, dan dengan keberanian dan tekad kuatnya, tujuh sekadar menjadi angka tujuh. Tak berarti sama sekali di tangannya. Ia habisi tujuh kerajaan tersebut. Semakin banyak kahasuk bagi buok, semakin tenang hati Sengalang. Lawan yang terberat adalah Kerajaan Kuro Kuvtang Kisto, yang dipertuan Jeragan Tarah Tuan. Namun, sekuat-kuatnya lawan, semua serupa debu dan pasir bagi Sengalang. Sekali hempas, berhamburan. Jeragan Tarah Tuan yang perkasa terpaksa merelakan nyawanya terbang ke nirwana. Bernasib sama dengan tuan-tuan kerajaan lain.
Setelah berpuas diri, Sengalang kembali ke rumahnya. Ia minta orang-orangnya untuk menyiapkan acara dalok. Dalam waktu sebentar saja, dalok pun siap dilaksanakan. Sengalang sendiri yang memimpin acara tersebut. Ia berdoa agar arwah orang-orang yang telah dikayaunya tidak mengganggu dirinya, dan arwah-arwah itu bisa menjadi kahasuk bagi buok pujaan hatinya.