Segalanya hampir tidak ada yang berubah di desa itu, Desa Sakai. Tiap pagi, matahari menyinari jendela-jendela rumah-rumah yang menghadap ke sungai, sedangkan di sore hari, menyusut lebih cepat akibat disembunyikan deretan bukit. Bila langit sedang ingin melukis, maka aura jingga dan ungu memenuhi angkasa. Bila langit sedang sendu, hanya ada awan kelabu seluas langit itu sendiri.
Jalan semen satu-satunya di Sakai menjadi saksi hilir mudik penduduknya. Masing-masing berjalan dengan keluh kesah maupun kegembiraan yang juga hilir mudik mendatangi perasaan dan pikiran. Para perempuan setiap hari pergi ke ladang, dan menjelang sore, pulang dengan membawa sayuran pakis, ketela, dan cabai-cabaian. Para lelaki, sesekali juga ikut ke ladang, dan bila hujan sedang berjeda lebih dari dua hari, mereka menoreh karet.
Sampan-sampan berlalu lalang di sungai. Speed boat , hanya sekali atau dua kali dalam sehari. Itu pun hanya berlaku di musim air pasang. Bila air sedang surut, hanya ada riam dan bebatuan. Mustahil bagi speed boat untuk melintas, sedangkan sampan pun harus ditarik melewati bebatuan.
Kelempiau tetap berisik, enggang sesekali hilir mudik, dan elang memasuki musim kawin.
Penelitian yang dilakukan oleh Santo dan rombongan ekspedisinya sudah berjalan hampir dua bulan. Dalam beberapa hari kemudian mereka akan angkat kaki. Selama penelitian, banyak yang terjadi dan didapat. Memang ada kalanya kebosanan membuat mereka meringkuk seharian di teras rumah, namun itu tidak berlangsung lama. Mereka telah terlatih untuk mengatasi masalah yang muncul akibat perasaan sendiri. Siapapun yang masih berkutat dengan dirinya sendiri tidak layak untuk disebut sebagai petualang.
Bagi Santo, dua bulan masa penelitian adalah masa-masa bahagia. Nyala optimisnya terjaga, tidak redup, bahkan membara sebesar unggun yang menerangi malam. Hangat dan tidak berbahaya. Ia coba sebarkan kehangatan itu pada siapapun, bahwa apa yang dilakukan dirinya dan teman-temannya adalah kebaikan untuk masa depan Sakai. Penduduk di Sakai, seluruhnya percaya padanya. Ia tidak khawatir jika ada penduduk yang mengkhianati segala usahanya.
Memang, tak semua semulus rencana. Tak semua fakta sesuai bayangan. Saat mereka mengunjungi Soban, desa yang terletak sekitar satu jam dari Sakai dengan sampan bermesin, rasa percaya diri Santo diusik. Bagaimanapun, hutan di hulu Sungai Ambalau sangatlah luas, tidak hanya mencakup Sakai, tapi juga desa-desa lain. Soban salah satunya. Artinya, penyelamatan hutan tidak hanya bisa mengandalkan penduduk Sakai, tetapi juga penduduk desa lain. Satu minggu pun mereka habiskan di Soban.
Awal mula di Soban, semua berjalan menyenangkan. Rombongan disambut ramai orang layaknya tamu terhormat. Mereka dipersilakan tinggal di rumah Leto yang juga masih sepupu jauh dari Santo. Rumahnya tergolong sudah sangat kota. Dinding dan lantai dilapisi ubin. Televisi dua puluh satu inci yang diapit sepasang speaker terpampang di ruangan tengah. Berderet-deret foto Leto beserta keluarga di depan Monas, Gedung Sate, Petronas Kuala Lumpur, terpajang.
Di rumah Leto, pusat semua kegiatan rombongan terjadi. Mereka tidak pernah kelaparan. Berbagai macam kudapan disuguhi. Kopi tidak pernah habisnya. Percakapan-percakapan basa basi, perkenalan, dan candaan-candaan pun mengisi. Leto umpama seorang suci, kaya, nan dermawan. Suatu kali, ia berkata, “Kepala desa di sini jarang ada di tempat. Sekretaris desa juga selalu pergi. Jadi, ah, penduduk menunjuk saya untuk menggantikan mereka. Saya tidak tahu apakah diperbolehkan seperti itu? Tetapi, menolak amanat penduduk sama juga menolak amanat Tuhan. Saya tidak berani. Jadi saya lakukan apa saja yang bisa untuk menolong. Tidak digaji pun tidak apa-apa.”
Sebagaimana sebelumnya, sebagian rombongan pergi ke hutan. Nek Murai, dukun adat Soban, mengharuskan ada ritual sebelum jelajah hutan. Karena itu, mereka merelakan kepala mereka dikitari ayam jantan. Mandau juga digigit. Gelang manik atau siro dikenakan pada tangan setiap orang.
Perjalanan ke hutan menjadi pintu pembuka semua belang yang ada di Soban. Awalnya, belang-belang itu terkesan seperti kesalahpahaman. Namun, lambat laun, nyatalah bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi memang adalah belang-belang.
Persoalan dimulai dari jumlah porter yang melebihi permintaan. Yang dimintai, dua orang ditambah satu penunjuk jalan. Ternyata Leto menghadirkan lima orang, dan sudah tidak mungkin mengusir tiga di antara mereka.
“Saya percaya teman-teman beritikad baik, termasuk berhati baik untuk memberi lapangan pekerjaan bagi beberapa orang penduduk,” begitu alasan Leto, mementahkan protes Santo. Santo menyerah. Ia tidak suka pada hal-hal yang di luar rencana, apalagi ini menyangkut anggaran. Mereka harus sangat ketat dengan pengeluaran.
Masalah selanjutnya terjadi berselang tidak lama kemudian. Mereka masih pun belum berangkat ketika Adi dan Dwi menggerutu. Tiga orang porter membawa senapan angin. Senapan angin merupakan benda haram dalam survei binatang. Bunyinya mampu membuyarkan kumpulan monyet juga burung yang menjadi objek-objek penelitian.
“Mereka hanya mau memburu tupai,” alasan Leto.
Adi bersikeras, “Tidak ada binatang liar yang mati dalam penelitian ini.”