Dibanding peneliti yang lain, Nadi nampaknya yang paling betah dan bersemangat, meski ia tidak pernah menunjukkan suasana itu di raut wajah atau sikap. Sakai memberinya kesan yang menyentuh dasar hatinya, yang sulit diungkapkan dalam kesempurnaan bahasa seperti apapun. Ia selalu merasa, kampung ini seumpama rumahnya, selalu tersedia baginya bila suatu saat ia kembali.
Kondisi itu, bisa dianggap dipengaruhi oleh kebaikan keluarga Benediktus serta Puhtir dan neneknya. Kedua orang terakhir, hampir selalu menemaninya setiap hari. Dari kedua orang itu, cerita budaya hampir seluruhnya lengkap dan dengan demikian, membuat Nadi mudah dalam melakukan penilaian. Dengan sedikit pongah, suatu hari ia berkata pada rekan-rekan peneliti, jika ada orang hendak bertanya soal Uud Danum, cukup datang ke dia saja. Ia sudah menjadi pastor Uud Danum.
Percakapan berbobot atau tidak, tidak hanya terjalin di rumah Benediktus maupun rumah Puhtir. Tapi di mana saja selama Nadi, Puhtir, dan Nek Ga bersama. Dari semua tempat, ladang menjadi tempat yang menyediakan banyak kunci jawaban. Menilai Uud Danum, sebagaimana Dayak yang lain, tidak akan mengerucut sempurna bila perladangan diremehtemehkan. Lantun-lantunan disuarakan untuk ladang. Tari-tarian menggerakkan tingkah laku ladang. Puja-pujaan disampaikan untuk kebaikan ladang. Mantra-mantra diucapkan demi kemakmuran ladang. Bagian mana yang tidak berhubungan?
Dengan semua alasan itu, Nadi sekali waktu merenungkan tentang ladang bagi orang Uud Danum. Sebab ladang bukanlah sekadar tanah, hamparan padi, burung pipit, panorama bukit, atau hutan yang mengitari. Ladang adalah sebagian jiwa manusia. Ia sendiri merasa jiwanya ikut terserap ke dalam tanah-tanah yang basah, padi-padi yang menunduk, dan keheningan misterius ketika ikut berladang.
Semua orang Dayak berladang. Meski sebagian mereka menekuni profesi utama sebagai pegawai negeri, pedagang, atau bahkan penjahat, mereka tetap berladang. Setidaknya, sampai titik masa tertentu, ketika anak-anak mereka tidak dijejali paradigma bahwa menjadi petani itu harus bersiap miskin seumur hidup. Setidaknya, sampai titik masa sebelum modal raksasa berbondong-bondong menyerobot lahan.
Lepas dari titik masa itu, banyak hal yang berubah. Banyak hal. Bukan hanya soal luas lahan atau kepemilikan lahan, namun juga cara pandang pribumi. Paling parah, pandangan berubah menjadi materialistis. Segala hal ditakar dari sisi untung rugi. Perladangan tidak lagi diresapi sebagai pranata sosial dan spiritual, tetapi hanya untuk urusan ekonomi. Orang berladang harus membayar orang lain supaya mau membantu, dan jiwa gotong royong terus saja terkikis, terkuras. Orang harus bertengkar dan memaki-maki karena memperebutkan lahan, padahal dulu mereka bisa bermusyawarah.
Orang berladang bukan lagi memerhatikan mampu atau tidaknya, tetapi pada besar-kecil lahannya. Mereka menggarap sebanyak mungkin lahan walau sering tidak mampu. Orang pun tidak menghiraukan doa keselamatan dan syukur. Segala pesta ladang menjadi sebatas atraksi, atas nama mempertahankan budaya, dan akibatnya mereka dibebani belasan atau puluhan juta rupiah untuk acara pesta. Bukan harga murah. Dulu mereka melakukan pesta ladang dengan menyesuaikan hasil ladang dan berlandaskan suka cita tanpa beban.