Herman menutup jendela dengan pelan, menimbulkan suara engsel yang berkarat, dan itu justru membuat anak bungsunya yang berumur dua tahun terbangun. Tangisannya membahana seketika. Istri Herman berlari-lari kecil dari kamar mandi dengan daster yang basah di bagian bawahnya sebab sempat menendang ember lalu masuk ke kamar untuk menyusui si bungsu. Tangisan mereda.
Sore baru beranjak pergi, namun semburat kemerahan masih betah sejenak di langit. Sakai basah oleh renyai gerimis. Antara pucuk pohon yang satu dengan pucuk yang lain mulai tidak bisa dibedakan. Suara ngengat berkumandang lewat celah-celah bunga-bunga dan ilalang, sedangkan riuh tonggeret tak henti-henti pula.
Terdengar pintu rumah diketuk, dan Herman keluar dengan terburu-buru, khawatir ketukan akan semakin keras bila ia menunda-nunda, yang artinya akan membuat si bungsu terbangun lagi. Ternyata Nadi, Puhtir, dan Taufan, dan beberapa peneliti. Herman mempersilakan mereka masuk, namun Nadi meminta maaf tidak bisa berlama-lama.
“Kami hanya ingin pamit. Lusa kami pulang ke Pontianak.”
“Lusa?”
“Ya. Besok kami masih ada di rumah Benediktus.”
“Kalau begitu, besok saya ke sana. Mampirlah dulu, sebentar. Duduk di teras. Langit seperti itu tidak lama.”
Nadi dan rombongan setuju. Mereka duduk berselojoran, meregangkan otot. Dari sehabis makan siang, mereka telah berjalan mengelilingi Sakai, beramah-tamah dengan hampir semua orang. Dua bulan bukan waktu yang singkat, dan hubungan para peneliti dengan masyarakat telah serupa sanak keluarga. Tidak beretika bila pergi tanpa permisi.
Rumah Herman berada di bagian daratan yang tinggi, sehingga, meskipun sama seperti rumah lain yang berdinding papan, beratap seng, terlihat lebih megah. Angkasa raya terlihat begitu gegap gempita dari teras rumahnya.
Indahnya rumah Herman sebanding dengan indahnya kelakuan Herman. Rombongan peneliti senang berlama-lama berbicara dengan Kepala Desa Sakai itu. Ia tidak pernah bersikap sinis dan cukup lebih berpengetahuan dari pada yang lain. Para peneliti beranggapan, Sakai memiliki Kepala Desa yang tepat. Sudah tiga tahun Herman menjadi kepala desa dan karenanya, banyak wawancara penelitian dilakukan dengannya.
Bila ada yang bertanya siapa saja orang yang paling baik dan dipercaya di Sakai, tidak ada keraguan bahwa Herman akan berada di kategori itu. Ia tidak kaya, tetapi bila sedang ada uang, tidak menunggu waktu lagi tetangga-tetangganya akan dipanggil untuk ikut menikmati hidangan di rumah. Dia jugalah yang menggendong Ohtong sejauh dua mil ketika pemuda itu patah kakinya akibat terjatuh dari tebing. Ketika Bu Karing sakit-sakitan, Herman menjenguknya berkali-kali dan ketika nyonya yang tinggal dua rumah bersebelahan dengannya itu meninggal, Herman memberi anak-anak Bu Karing pekerjaan. Anak-anak itu pun setelah enam bulan kemudian bisa menjadi mandiri dan kesedihan akibat kehilangan ibu reda dengan cepat.
Ketika orang lain berdebat untuk menolong seekor anjing yang terpeleset lantas perutnya tertancap tunggul tajam, dan dengan ajaib masih hidup, Herman turun tangan mengangkat anjing itu, mengindahkan ceceran darah dan usus yang keluar dari perut anjing. Anjing itu akhirnya selamat, dirawat oleh Herman dan di kemudian hari diberikan kepada seorang bocah. Orang-orang berkata keselamatan anjing itu sepenuhnya merupakan karunia Tuhan yang bersimpati kepada kebaikan hati Herman.
Jika ia memiliki jenggot putih dan mata sendu yang menyerupai santo-santo, tidak mustahil orang-orang akan menganggapnya orang suci. Faktanya, Herman lebih suka bercukur seminggu sekali dan rambutnya pendek mengilat oleh minyak rambut.
Hal-hal baik tentang Herman itu diceritakan tanpa ragu-ragu oleh orang-orang. Mungkin ada bumbu di sana sini, tetapi tidak menghilangkan asas kecintaan terhadap kepala desa. Kiranya, karakter kepala desa yang seperti itu juga punya andil terhadap rasa betah para peneliti di Sakai. Rasa betah semakin terbangun oleh sikap hampir semua masyarakat Sakai yang begitu terbuka tangan dan pintu rumahnya kepada para peneliti.